JAKARTA – Panjangnya garis pantai Indonesia, menjadikan garam sebagai salah satu produksi utama. Jumlah penambak garam tercatat 32.610 jiwa, tersebar di Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB, NTT, Bali, Sulawesi Tenggara, hingga Gorontalo. Atas dasar potensi itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menciptakan inovasi Pengembangan Usaha Garam Rakyat atau PUGaR.
Menteri KKP Edhy Prabowo menjelaskan, inovasi ini dapat memberdayakan masyarakat pesisir dalam mendorong peningkatan produksi garam sekaligus melaksanakan Nawa Cita ke-7, yakni mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. “Sehingga meningkatkan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas pasokan garam,” ujar Edhy saat presentasi dan wawancara Top 99 Inovasi Pelayanan Publik 2020 di Kantor Kementerian PANRB beberapa pekan lalu.
Lokasi PUGaR pada tahun 2019 mencapai 29 kabupaten, belum termasuk pengembangan baru seperti Banten, dan beberapa kabupaten di peisisir selatan Jawa. Inovasi layanan PUGaR meliputi integrasi lahan garam, pembangunan dan pengelolaan gudang garam nasional (GGN), serta penguatan SDM dan kelembagaan. Penguatan kelembagaan melalui penyatuan penambak garam dalam wadah koperasi primer dan induk, diiringi pelatihan, pendampingan dan sertifikasi, adalah suatu terobosan pemberdayaan agar dapat bersaing di kancah global, termasuk di era yang serba digital.
Melalui inovasi ini, produktivitas meningkat dari 40 hingga 60 ton per tahun, menjadi diatas 100 ton per hektare per tahun. Para penambak juga memiliki GGN berstandar nasional, berdaya tampung 2000 ton yang menerapkan resi gudang untuk meningkatkan permodalan dan memperbesar peluang harga terbaik. Kini mereka memiliki koperasi primer dan koperasi induk, sebagai wadah bersatu dan berkembang.
Berdasarkan neraca garam nasional tahun 2015-2018, kebutuhan garam Indonesia untuk konsumsi maupun industri rata-rata 3,65 juta ton per tahun. Namun di bawah 40 persen saja yang terbuka bagi garam lokal, itu pun bukan untuk industri. Salah satu penyebabnya adalah kualitas garam lokal yang beragam, baik antar-penambak maupun antar-waktu sehingga tidak bisa memberikan jaminan pasokan kepada industri.
Di satu sisi, garam industri merupakan peluang pasar yang besar namun memerlukan kepastian kualitas. Maka, agar penambak garam dapat menangkap peluang tersebut, diperlukan fasilitasi dan penguatan yang bisa menjawab permasalahan di atas. “Melalui PUGaR, komoditas garam diharapkan menjadi sektor ekonomi domestik yang dapat diandalkan baik untuk kesejahteraan penambaknya maupun memenuhi mayoritas kebutuhan garam nasional,” ungkap Edhy.
Inovasi ini dapat diterapkan di berbagai daerah penghasil garam meskipun corak kebudayaan dan sistem sosial para penambaknya berbeda. PUGaR telah diterapkan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur termasuk Madura, NTB, hingga Sulawesi Selatan.
Selain itu juga mulai diterapkan di Aceh dan NTT, serta lokasi yang benar-benar baru seperti Banten (Kabupaten Serang) yang mulai menerapkan integrasi lahan garam. Edhy menjelaskan, prosesnya diawali perancangan lahan yang tepat, cara produksi sesuai SOP, dan peningkatan volume dan kualitas produksi. “Setelah jumlah produksi besar, baru GGN dibangun. Pada saat bersamaan, penguatan SDM-kelembagaan terus dilakukan,” pungkasnya. (rr/HUMAS MENPANRB)