JAKARTA - Penertiban hunian di Kampung Pulo, Kecamatan Jatinegara Barat, Jakarta Timur Kamis (20/08) ricuh dan menimbulkan bentrok, berbeda halnya dengan yang terjadi di bantaran jalur kereta api Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Penggusuran hunian itu berlangsung damai, tanpa gejolak, dan para penghuni umumnya melakukannya dengan sukarela.
Bantaran jalur kereta api di Jabodetabek, selama ini banyak dijadikan kawasan hunian atau tempat komersial, tanpa peduli masalah legalitas tanah tersebut. Tidak sedikit juga yang mendapatkan lahan itu dengan membayar kepada seseorang, yang mengatas namakan ‘penguasa’ wilayah (kawasan tertentu), atau yang sering dijuluki dengan centeng, dengan jaminan mendapat perlindungan keamanan, dan lain-lain.
Kenyataan tersebut terus berkembang dari waktu ke waktu, dan tidak sedikit yang sudah menempati ‘lahan haram’ itu lebih dari 20 tahun. Ada yang digunakan sebagai tempat usaha saja, tetapi ada juga yang menjadikannya sebagai tempat tinggal. Sampai-sampai ada petak tanah yang bersertifikat.
Saat DKI Jakarta dipimpin oleh Jokowi, penertiban mulai dirintis. Kebijakan itu ditindaklanjuti secara konsisten oleh Ahok. Alasan utama penertiban itu, karena warga menempati lahan yang bukan miliknya, selain tentunya sering menimbulkan kerawanan sosial. Tak jarang ada warga terserempet kereta api yang hilir mudik di jalurnya.
Salah satu wilayah yang mengalami fenomena itu adalah Kecamatan Jagakarsa, khususnya Kelurahan Lenteng Agung. Seluruh kereta api jurusan Jakarta – Depok pasti melintasi kawasan ini. Sepanjang jalur kereta yang kanan kirinya merupakan jalan raya itu, dulu diramaikan dengan banyaknya penduduk yang mengadu nasib dengan menggelar berbagai dagangan. Mulai dari tanaman hias, pulsa, kayu, hingga panti pijat.
Dampak lain yang ditimbulkan, khususnya di jalan raya, kemacetan selalu menjadi-jadi. Tidak saja saat orang berangkat atau pulang kerja, tetapi hampir sepanjang waktu jalur tersebut selalu macet. Apalagi di Depok ada Universitas Indonesia, di Lenteng Agung ada Universitas Pancasila, dan banyak kampus swasta lain, yang aktivitasnya menambah maraknya jalanan.
Kenyataan itu juga menimbulkan kerawanan, karena dalam aktivitas sehari-hari tidak sedikit warga masyarakat yang harus menyeberangi rel kereta. Warga Lenteng Agung yang akan ke kantor kelurahan juga harus menyeberang rel. Di sisi timur dan barat jalur kereta api itu ditempati ratusan pedagang yang melakukan usaha.
Camat Jagakarsa Fidiah Rokhim mengatakan, rencana penertiban kawasan bantaran rel KA itu sudah lama. Karenanya, setelah dilantik pada tanggal 5 Januari 2015 silam, dia pun langsung mengambil sikap untuk memprioritaskan penertiban kawasan ini pada urutan pertama. “Kami melaksanakan perintah Walikota Jakarta Selatan, karena penertiban kawasan itu sudah direncanakan oleh para pendahulu saya sejak bertahun-tahun silam,” ujar Fidi yang sebelumnya Camat Mampang Prapatan ini.
Benar saja, hanya dalam hitungan hari, Fidi yang juga dikenal sebagai ‘Camat Kiai’ ini merealisasikan tugasnya dengan baik. Hebatnya, penggusuran 35 rumah yang meliputi 157 usaha, miliki 24 KK ini tidak menimbulkan gejolak, seperti yang banyak terjadi di tempat lain. Sulit dipercaya, tapi itulah kenyataannya. Mereka melakukan sendiri pembongkaran rumahnya.
Tentunya, peristiwa itu tidak dilakukan tanpa perhitungan matang dan upaya-upaya yang terencana dengan matang. Kalau Jokowi, saat masih menjadi Walikota Solo harus mengundang makan siang para pedagang kaki lima (PKL) di Surakarta sebanyak 46 kali, ternyata Fidi hanya sekali mengumpulkan warga di kantor Kecamatan Jagakarsa. “Saya menanyakan, apakah saudara-saudara menempati lahan yang memang hak saudara ? Kalau memang hak saudara, saya tidak akan menyuruh pindah. Tapi kalau saudara merasa itu bukan haknya, silakan ditinggalkan,” akunya dalam percakapan dengan crew Majalah Layanan Publik baru-baru ini.
Hal itu dibenarkan Ketua Lembaga Masyarakat Kota (LMK) Kecamatan Jagakarsa, Muslihan, yang secara kebetulan ikut bergabung saat meninjau lokasi puing-puing bekas bangunan yang sudah runtuh. Menurutnya, Camat Jagakarsa selalu bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga terkait yang ada di Jagakarsa. “Beliau mengajak warga untuk berkumpul dan makan siang pada tanggal 9 Januari 2015. Dia mengatakan, kalau tanah itu merupakan hak jalan atau hak kali, tolong kembalikan ke fungsi semula,” ujarnya.
Selain itu, sejak beberapa hari setelah dilantik, Fidi terus melakukan pendekatan dengan seluruh warga. Ada yang disambangi satu per satu, diajak dialog dan diberikan pengarahan. “Pak Camat sering datang langsung ke warga untuik berdialog,” ujar Ketua RW 5 Kelurahan Lenteng Agung, Daud.
Alhasil, dalam 6 bulan memimpin Kecamatan Jagakarsa, sebanyak 193 bangunan telah berhasil ditertibkan dan kini telah dibebaskan 7.207 meter persegi lahan. Mengutip pernyataan Kepala Stasiun Lenteng Agung, Fidi juga mengatakan bahwa pasca penertiban, sudah tidak ada lagi warga yang keserempet kereta. Padahal sebelumnya, kejadian seperti itu cukup sering terjadi.
Ini bisa terjadi karena setiap warga yang akan menyeberang rel bisa melihat kanan-kiri terlebih dahulu dengan lebih bebas, tanpa terhalang oleh bangunan-bangunan yang sebelumnya mengganggu pemandangan. “Bisa kita lihat, sekarang warga yang akan menyeberang bisa memperhatikan kereta yang datang, baik dari arah Pasar Minggu maupun dari arah Depok. Mudah-mudahan ini menjadi perhatian masyarakat di sini,” imbuh Fidi.
Fidi juga menjelaskan bahwa pihaknya mencatat seluruh data dari seluruh bangunan dan setiap jkengkal tanah yang yang kini dibebaskan. Sebab dalam penggusuran ini Kecamatan Jagakarsa memang tidka menyiapkan ganti rugi. Dari data itu nantinya tanah tersebut akan ‘dijual’ ke Pemda DKI Jakarta, dan setiap warga yang tergusur akan mendapatkan haknya sesuai harga yang dibayarkan oleh pemerintah. “Saat ini mereka tidak mendapatkan ganti rugi,” ujarnya.
Mengenai peruntukan lahan yang telah dibebaskan itu, Camat Fidi menegaskan bahwa nantinya akan dijadikan sebagai jalur hijau, sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan. Prinsipnya, sepanjang jalur kereta ini harus bebas dari bangunan, dan akan digantikan dengan taman, sehingga menyejukkan pemandangan, dan tidak mengundang terjadinya kecelakaan, seperti yang sebelumnya sering terjadi.
Fidi juga mengaku, kunci dalam melaksanakan amanah itu adalah integritas. “Apa yang dikatakan dan yang dilakukan harus sama. Insya Allah masyarakat akan mengikuti dan mendukung setiap program pemerintah,” pungkas pria yang kini tengah menempuh pendidikan Strata 2 di Universitas Indonesia ini. (ags/HUMAS MENPANRB)