Pin It

20190903 Pukul Tifa1

Presiden Jokowi didampingi Menkumham, Seskab, dan Prof. Mahfud MD memukul tifa tanda Pembukaan Konferensi Hukum Tata Negara ke-6 Tahun 2019, di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/9) siang.

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) untuk memikirkan bagaimana respon hukum tata negara dan hukum administrasi negara terhadap dunia yang sekarang ini sudah sangat berubah.

“Mungkin bukan hanya terkait dengan format kabinet presidensil saja, tetapi terkait dengan kerangka pikir hukum tata negara dan hukum administrasi negara secara keseluruhan,” kata Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada Pembukaan Konferensi Hukum Tata Negara ke-6 Tahun 2019, di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/9) siang.

Menurut Presiden, sistem hukum tata negara dan hukum administrasi negara harus membuka ruang-ruang terobosan dan mendorong lompatan-lompatan. Karena dalam praktek, (meskipun) yang membuat hukum kita, membuat undang-undang juga kita, tetapi kita sering terjerat sendiri oleh yang kita buat.  “Kita ingin memutuskan cepat, tidak bisa cepat karena terhalang oleh undang-undang,” ujarnya.

Ditegaskan Presiden, bahwa saat ini dunia berubah sangat cepatnya, sangat cepat sekali. Barangnya sudah keluar, sudah berjalan, regulasinya belum ada. Ini kecepatan yang sangat ini sekali. Contoh, misalnya kita kemarin di Osaka, di G20. berbicara satu saja belum bisa ada yang memberi contoh mengenai hukum untuk pajak digital.

Inila, lanjut Presiden, perubahan-perubahan yang harus kita respon dan harus kita sadari bersama. Dunia tidak semata sedang berubah sangat cepat tetapi juga sedang distrupsi. Ia mengingatkan, di era disrupsi ini, kemapanan langsung bisa runtuh, ketidakmungkinan bisa terjadi.

“Inilah yang perlu kita respon dan hukum kita, termasuk hukum tata negara harus responsif, harus fleksibel terhadap perubahan-perubahan ini. Hukum tata negara kita harus membuka ruang-ruang terobosan dan mendorong lompatan-lompatan,” tegas Presiden Jokowi.

Karena itu, Presiden menilai, hukum itu memberikan fleksibilitas yang lincah dalam menghadapi perubahan-perubahan yang sangat cepat ini. Kita membutuhkan hukum tata negara yang memandu kita untuk berjalan cepat dan berjalan selamat.

“Cepat tapi selamat, enggak bisa hanya dapat selamatnya saja tapi tidak cepat. Ditinggal kita,” tutur Presiden.

Presiden menegaskan, bahwa kita butuh hukum tata negara yang memberikan ruang fleksibilitas yang lincah agar bangsa ini cepat, responsif terhadap perubahan-perubahan zaman yang sekarang ini terjadi.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi menitipkan kepada para peserta Konferensi Hukum Tata Negara ke-6 Tahun 2019 untuk menelaah ulang. Apakah sistem hukum tata negara dan sistem hukum administrasi pemerintahan kita saat ini telah memberikan ruang fleksibilitas tersebut?

“Yang saya rasakan dalam 5 tahun ini, tidak atau belum,” ucap Presiden Jokowi.

Apakah hubungan antar lembaga telah memberikan kecepatan kita untuk bergerak? Menurut Presiden,  sekarang juga tidak dan belum.

Apakah semua tata hukum kita memberikan keberanian kita untuk melakukan terobosan-terobosan inovasi? “Tidak dan juga belum. Mau berinovasi, prosedurnya  ruwet sekali. Sehingga kita kecapean dimuter-muternya, inovasinya sudah hilang,” ungkap Presiden Jokowi

Presiden mengingatkan, ketika para founding fathers memilih sistem presidensial, mungkin kerangka pikirnya adalah untuk membuat pemerintahan yang lebih trengginas. Oleh karena itu, Presiden Jokowi berharap banyak dari konferensi ini, dan ingin menunggu hasilnya.

Konferensi Hukum Tata Negara ke-6 itu diikuti oleh 250 peserta dari Aceh sampai Papua, dari paling utara Sulawesi samapai paling selatan Nusa Tenggara.

Tampak hadir dalam pembukaan konferensi itu antara lain Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Prof Dr Mahfud MD. (FID/AGG/ES)