JAKARTA – Kementerian Hukum dan HAM memangkas birokrasi dengan pencatatan hak cipta secara online (e-Hak Cipta) yang menggunakan teknologi kriptografi. Proses pencatatan yang semula dilakukan secara manual memakan waktu empat hingga enam bulan, dengan inovasi ini selesai dalam satu hari.
Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Kementerian Hukum dan hak Azasi Manusia Freddy Harris mengatakan, inovasi ini juga bertujuan untuk memberikan kepastian administrasi. “Dengan inovasi hak cipta ini, satu hari sudah selesai. Tapi kita buat disclaimer bahwa orang harus jujur mendaftarkan kalua itu memang hak cipta milik mereka. Jika ditemukan ketidakjujuran atas hak cipta, Freddy menegaskan pengajuan hak cipta itu bisa dibatalkan,” tegas Freddy.
Inovasi ini merupakan salah satu inovasi dari Kementerian Hukum dan HAM yang masuk Top 99 Inovasi pelayanan Publik 2018. Dijelaskan, kriptografi merupakan ilmu teknik matematika yang berhubungan dengan aspek keamanan informasi, seperti kerahasiaan data, keabsashan data, integritas data, serta autentikasi data.
Menurut Freddy, selama ini banyak skripsi mahasiswa biasanya hanya menjadi pajangan di perpustakaan kampus. Untuk itu ia mengajak mahasiswa untuk mendaftarkan HAKI atas skripsi tersebut. “Skripsi itu harus didaftarkan karena skripsi itu kan sebuah hasil penelitian. Minimal mahasiswa atau sarjana Indonesia nanti itu punya sertifikat yang bisa dibanggakan,” imbuh Freddy.
Saat ini, karya terbanyak adalah hak cipta buku dan lagu. Namun masih banyak pelanggaran hak cipta karena belum memiliki database yang cukup. Hak cipta elektronik ini pun disebut bisa mengatasi hal tersebut. “Dengan e-hak cipta semoga semua bisa teratasi,” ujarnya.
Dirjen HAKI Freddy Harris (kiri) berbincang-bincang dengan Tim Panel Independen, Suryopratomo dan Achmad Sobari
Dampak adanya inovasi ini, jelas Freddy, adalah lebih efisiensi dan akurat, fleksibel, terpantau, dan lebih aman karena sudah tersertifikasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Sistem ini juga akan terus berkelanjutan dengan inovasi yang mengikuti tren teknologi dengan rencana pengembangan berbasis mobile dan IOS dan akan terintegrasi dengan SINTA (Science and Technology Index) Kementerian Ristekdikti.
Sistem yang telah dilaksanakan sejak 2016 ini berdampak baik bagi perkembangan sistem pemerintahan berbasis elektronik. Di tahun tersebut, masih ada 5.855 pengajuan hak cipta secara manual, sedangkan dengan hak cipta elektronik masih 1.380 pengajuan.
Tahun 2017, jumlah pengajuan hak cipta secara elektronik meningkat menjadi 5.522, dan yang manual sebanyak 6.242. Peningkatan pesat terjadi di tahun 2018, sebanyak 10.207 karya diajukan hak ciptanya dengan hak cipta elektronik. Sedangkan yang manual hanya 109 ajuan.
Bahkan, sistem ini telah direplikasi oleh African Regional Intellectual Property Organization (ARIPRO) yang telah meminta pembandingan terkait konsep pengembangan dan bagaimana menggunakan sistemnya. “Aplikasi hak cipta online dapat direplikasi pada kantor kekayaan intelektual di setiap negara,” pungkas Freddy. (don/HUMAS MENPANRB)