JAKARTA – Luasnya wilayah Provinsi Sumatera Selatan seringkali berakibat minimnya akses masyarakat di pelosok tidak mendapatkan fasilitas kesehatan mata secara baik, akibatnya terjadi penumpukan penderita katarak (backlog). Mengatasi hal tersebut Pemprov Sumsel bersama stakeholder membangun sebuah terobosan yang diberi nama Empek Ikan Belida (EIB) “Eyecamp Projek, Inisiatif Kontra Kebutaan Bergerak Keliling Daerah. Program yang berlangsung sejak tahun 2012 ini telah mengurangi backlog di daerah sebanyak 18.1 persen penderita kebutaan katarak dalam setahun.
Inovasi EIB menawarkan solusi yang efektif, dengan keliling daerah secara rutin dan membawa layanan perawatan kesehatan mata. Untuk lebih mendekatkan layanan kepada masyarakat, Pemprov melibatkan multi stakeholder serta memobilisasi sumber daya kesehatan di pelosok desa. “Layanan ini, mulai dari diagnosis, pengobatan hingga operasi adalah tanpa biaya (gratis),” Sekda Provinsi Sumsel Nasrun Umar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, sebanyak 0,78 persen dari jumlah penduduk 7.446.401 jiwa di Provinsi Sumatera Selatan mengalami kebutaan katarak setiap tahunnya. Sebagian besar penduduk yakni 42,1 persen tidak mengetahui jika menderita katarak, dan lebih dari 10 persen adalah orang yang kurang mampu.
Diejlaskan, program ini bergerak mendatangi penderita hingga ke daerah terpencil dan menyederhanakan akses layanan kesehatan dengan melakukan kegiatan di luar gedung. Untuk merealisasikan program ini, EIB memusatkan pelayanan yang terletak di Rumah Sakit Khusus Mata (RSKM) dan berkoordinasi dengan stakeholder di daerah pelosok. Koordinasi ini dapat mengurangi jumlah penderita secara signifikan dan juga akan menciptakan spesialis yang ahli, karena mereka bekerja dalam volume yang tinggi sehingga secara tidak langsung akan tercipta peningkatan ketrampilan dan keahlian bagi tenaga spesialis.
Sekda Provinsi Sumsel Nasrun Umar saat presentasi Top 99 inovasi pelayanan publik di kantor Kementerian PANRB
Proses pelaksanaan dimulai dengan identifikasi awal berdasarkan laporan Puskesmas setempat dengan melihat kondisi real wilayah. Selanjutnya dilakukan koordinasi dengan Pemda terkait sekaligus melihat kesiapan Puskesmas untuk pelaksanaan eyecamp. Proses berikutnya adalah mengirim tim skrining yang telah dibentuk dengan melihat indikasi setiap pasien, setelah itu mempersiapkan sarana dan prasarana seperti obat obatan dan lainnya.
Setelah semua dirasa siap dan memenuhi standar yang telah ditetapkan, proses pelaksanaan eyecamp kemudian dilakukan oleh tim pelaksana berdasarkan jumlah pasien yang telah dijaring. Tim Eyecamp terdiri dari Tim Penjaringan (Filtering), berjumlah 5 orang, seperti dokter umum, perawat dan Sopira, kemudian Tim Pelaksana Eyecamp, berjumlah 11 orang yang terdiri dari Dokter Mata, Perawat mahir mata, Anaestesi, asisten operator dan sopir, dan yang terakhir ada Tim Monitoring Evaluasi, berjumlah 3 orang, terdiri dari Struktural dan Bagian Program, jelasnya.
Program tersebut telah berhasil menjaring sebanyak 6.759 penderita selama periode 2012-2016, khususnya kelompok rentan di daerah pelosok. Hasil Inovasi eyecamp dari program EIB yakni per tahun rata-rata 1.350 tindakan dengan total 6.759 penderita yang dioperasi di daerah terpencil (kurun waktu 5 tahun, 2012-2016), maka program ini setidaknya telah mengurangi backlog di daerah sebanyak 18.1 persen penderita kebutaan katarak dalam setahun.
Pada umumnya, pengobatan dilakukan dengan cara pasien mendatangi fasilitas kesehatan. Sedangkan program EIB berfokus pada sebuah sistem untuk menyediakan layanan lebih dekat ke masyarakat. Inovasi ini berfokus pada semua aspek perawatan, termasuk operasi katarak gratis dengan cakupan yang luas berbasis masyarakat dan kegiatan dilakukan langsung diluar gedung. (byu/HUMAS MENPANRB)