JAKARTA – Tidak sedikit anak-anak menjadi korban paham radikalisme yang diajarkan oleh orang tua mereka sendiri. Padahal, tumbuh kembang anak seharusnya dilindungi dari berbagai macam situasi bahaya. Pada akhirnya, mereka bisa menjadi pelaku teror yang menimbulkan rasa tidak aman dalam masyarakat.
Selama ini belum ada lembaga yang menangani anak korban terpapar radikalisme, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Anak-anak tersebut memerlukan penanganan yang serius melalui pendekatan yang khusus.
Berangkat dari akar masalah itu, Kementerian Sosial menciptakan inovasi Pendidikan Karakter melalui Terapi Psikososial bagi Anak Korban Radikalisme (Pinter Melatih Anak Kobra). Inovasi itu diinisiasi oleh Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani untuk mengubah karakter anak yang orang tuanya terlibat jaringan terorisme.
Terapi psikososial yang dilakukan oleh BRSAMPK Handayani merupakan salah satu cara untuk membantu anak-anak mengubah karakternya dari karakter anak yang radikal menjadi anak yang ceria dengan pemikiran positif. Mereka dibiasakan untuk mencintai sesama, senang bertegur sapa, senang menolong, senang belajar, bermain, bersosialisasi dengan lingkungannya, dan percaya diri dengan potensi yang dimilikinya.
“Perbedaan signifikan pada awal nya mengucapkan salam tidak mau menjawab, dan tidak mau makan makanan yang disembelih orang lain. setelah dilakukan terapi akhirnya mau makan dan berbaur dan memahami perbedaan di Indonesia,” jelas Kepala BRSAMPK Neneng Heryani saat mengikuti kegiatan presentasi dan wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) 2019, di Kantor Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).
Sejak tahun 2016 hingga saat ini, BRSAMPK Handayani telah menangani 209 orang yang terpapar radikalisme, di mana 110 diantaranya merupakan anak-anak. Dalam hal ini, BRSAMPK Handayani berupaya membantu pemenuhan kebutuhan dan hak anak dimulai dari pemenuhan gizi, tempat tinggal, pendidikan formal dan informal, yang didalamnya terdapat pendidikan karakter, mental, sosial, dan psikososial.
Kepala BRSAMPK Handayani Neneng Heryani (kiri) saat mempresentasikan inovasi Pinter Melatih Anak Kobra di Kantor Kementerian PANRB
Inovasi ini dibangun bertujuan untuk membantu mengubah karakter radikal anak menjadi karakter yang sesuai dengan tingkat usia perkembangan anak. Tujuan lainnya, adalah membantu memperkenalkan adat istiadat serta kebudayaan di Indonesia, keberagaman kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di Indonesia (toleransi beragama), sehingga anak-anak dapat meningkatkan kecintaannya terhadap negara.
Inovasi ini juga membantu meningkatkan pemahaman anak terhadap dasar negara yaitu Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Undang-Undang Dasar RI 1945, serta melibatkan anak-anak dalam upacara bendera, serta membantu meningkatkan rasa saling menghormati, menghargai sesama manusia dan menumbuhkan rasa peduli dan kasih sayang anak terhadap sesama manusia meskipun berbeda agama, ras, bahasa dan suku bangsa.
Indikator yang diterapkan berdasarkan dengan pengukuran tingkat radikalisme seorang anak seperti, pemahaman takfiri (memberikan label kafir kepada orang lain di luar kelompoknya), menjawab salam dan memakan daging sembelihan orang lain di luar kelompoknya, dan kecintaan terhadap NKRI.
BRSAMPK Handayani bekerja sama dengan berbagai instansi melaksanakan kegiatan yang menghasilkan instrumen untuk menilai tingkat takfiri. “Selain itu telah disusun Standard Operasional Prosedur (SOP) rehabilitasi sosial bagi anak korban radikalisme, digunakan sebagai pedoman oleh lembaga atau masyarakat yang akan menangani korban radikalime,” jelas Neneng.
Program ini merupakan salah satu program rencana aksi nasional yang telah dicanangkan oleh 36 kementerian/lembaga pada tanggal 30 Desember 2018. Setelah anak korban radikalisme kembali di masyarakat, setiap kementerian/lembaga tersebut berkomitmen untuk melaksanakan keberlanjutan sesuai dengan kebutuhan masing-masing dari anak korban radikalisme, diantaranya Pemerintah daerah bertugas melanjutkan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan mereka sehari-hari.
Kemudian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberikan akses pendidikan kepada anak korban radikalisme. Selanjutnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil memberikan akses dokumen kependudukan anak korban radikalisme.
Kementerian Sosial memiliki tugas memberikan akses perlindungan dan jaminan sosial, seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan bantuan kewirausahaan bagi keluarga anak korban radikalisme. Sedangkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bertugas melakukan pengawasan melalui monitoring berkala, bantuan kewirausahaan untuk keluarga anak korban radikalisme, serta melakukan pencegahan paham radikalisme di masyarakat.
Inovasi ini juga melibatkan Densus 88 Anti Teror untuk melakukan pengasawan secara berkala kepada anak korban radikalisme secara langsung di masyarakat maupun melalui aktivitas anak korban radikalisme di media sosial. Lalu ada Kementerian Agama dengan tugas menyiapkan tenaga penyuluh dan bimbingan agama di seluruh wilayah Indonesia, dan masyarakat secara berkelanjutan mengajak anak korban radikalisme untuk terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti: kerja bakti di lingkungan masyarakat, peringatan hari kemerdekaan Indonesia, dan aktif dalam kegiatan karang taruna.
Dampak dari penerapan inovasi tersebut antara lain, anak korban radikalisme dapat mengubah karakter radikalnya menjadi karakter yang sesuai dengan tingkat usia perkembangan anak, kemudian berubahnya pola pikir anak korban radikalisme, tumbuhnya rasa cinta tanah air, bangsa, dan negara pada anak korban radikalisme, selanjutnya menumumbuhnya rasa toleransi anak terhadap perbedaan agama, suku, budaya, dan ras. “Dampak lain dari inovasi yaitu masyarakat menerima anak korban radikalisme di lingkungan sosialnya, serta mulai peduli dengan isu-isu dan permasalahan paham radikalisme yang muncul di masyarakat,” pungkas Neneng. (byu/HUMAS MENPANRB)