Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB Diah Natalisa dan jajaran dalam sosialisasi kebijakan penyediaan sarana prasarana berkebutuhan khusus secara virtual, Senin (29/06).
JAKARTA – Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan merupakan perwujudan keadilan dalam pelayanan publik bagi masyarakat. Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Diah Natalisa mengatakan bahwa sebagai bagian dari masyarakat, kelompok rentan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan publik, namun perlakuan untuk memperoleh hak tersebut tidak dapat disamakan.
“Terdapat beberapa hal yang perlu dipersiapkan agar mereka dapat mengakses setiap fasilitas pelayanan publik dengan standar-standar tertentu,” ujarnya dalam sosialisasi kebijakan penyediaan sarana prasarana berkebutuhan khusus secara virtual, Senin (29/06).
Sebagai penyelenggara pelayanan publik, instansi pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan yang berkualitas bagi setiap pengguna layanan, salah satunya dengan mewujudkan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Kelompok rentan yang dimaksud adalah penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial.
Dijelaskan, Kementerian PANRB selaku pembina pelayanan publik telah berupaya untuk mendorong setiap instansi agar dapat menyediakan berbagai sarana dan prasarana bagi kaum rentan, salah satunya melalui pelaksanaan evaluasi pelayanan publik yang dilakukan setiap tahun. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan dalam tiga tahun terakhir, dinilai bahwa upaya yang dilakukan oleh unit pelayanan untuk menyediakan sarana prasarana masih belum optimal, khususnya pada unit pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. “Hal ini mengindikasikan bahwa kita masih perlu melakukan peningkatan ketersediaan sarana bagi kelompok rentan ini, khususnya di sektor unit pelayanan pemerintah,” ungkap Guru Besar Universitas Sriwijaya tersebut.
Lebih lanjut Diah menjelaskan, ditengah pandemi Covid-19, diperlukan alokasi anggaran yang cukup besar dalam upaya pemenuhan sarana dan prasarana bagi kaum berkebutuhan khusus tersebut dimana setiap instansi pemerintah mengalami refocussing anggaran untuk penanganan Covid-19. Namun, Diah menegaskan yang terpenting adalah semangat dan niat untuk memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh masyarakat.
Pandemi Covid-19 membawa dampak pada seluruh lapisan masyarakat termasuk kaum berkebutuhan khusus. Pemberlakukan social distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah memberikan hambatan khusus bagi kelompok rentan, diantaranya kesulitan dalam memperoleh informasi terkait penyebaran dan pencegahan Covid-19 bagi kaum difabel, kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas karena hambatan perkotaan dan sulitnya sistem transportasi umum serta wanita hamil dan lansia yang mudah terpapar Covid-19 sehingga akses dan keamanan terhadap pelayanan publik masih diragukan. Atas kondisi tersebut, diperlukan berbagai upaya untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat. “Kepercayaan bahwa pelayanan publik harus terus kita jaga bersama agar masyarakat tidak kecewa dan menganggap bahwa pemerintah tidak peka terhadap kebutuhan mereka,” tutur Diah.
Dalam kesempatan tersebut, salah satu narasumber yakni Kepala Hubungan Masyarakat dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Maretha Ayu Kusumawati memaparkan terkait standar sarana prasarana pelayanan publik bagi kaum berkebutuhan khusus atau kaum rentan. Maretha menyampaikan di dalam Peraturan Pemerintah No. 36/2005 tentang Bangunan Gedung, terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi yakni persyaratan administratif dan teknis. “Khusus untuk sarana dan prasarana untuk kaum rentan dapat dilihat di persyaratan teknis, yaitu keandalan bangunan gedung yang meliputi aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan,” ujarnya.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, dijelaskan pada Pasal 54, persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung. Lebih lanjut, Maretha menjelaskan beberapa standar kelengkapan sarana dan prasarana bangunan gedung pelayanan publik seperti pintu, ram, ruang ibadah, ruang laktasi, taman penitipan anak, serta toilet. Terkait penggunaan pintu, lebar pintu minimal 90 centimeter sehingga memungkinkan pengguna kursi roda untuk masuk dan keluar. Untuk pintu ayun satu arah harus dirancang dan dipasang sehingga mampu membuka membuka sepenuhnya 90 derajat secara mudah dengan beban tekan atau tarik daun pintu paling berat lima kilogram.
Untuk ruangan pertemuan dengan jumlah kapasitas pengguna ruang yang besar, pintu harus dapat membuka kearah luar ruangan hal tersebut memudahkan saat terjadi proses evakuasi. Kelengkapan pintu seperti pegangan pintu, kait dan kunci pintu harus dapat dioperasikan dengan satu kepalan tangan tertutup, dipasang paling tinggi 110 cm dari permukaan lantai. Jika masih menggunakan pintu putar harus disertai dengan penyediaan pintu lain yang dapat diakses oleh pengguna kursi roda, serta pegangan pintu harus tidak licin dan bukan berupa tuas putar. “Untuk pintu tidak boleh langsung menuju tangga harus diberikan ruang bebas untuk memberikan kesempatan bagi pengguna kursi roda untuk memutar,” terang Maretha.
Selanjutnya terkait penggunaan ram, dimana ram harus memiliki kelandaian maksimum 60 derajat atau perbandingan antara tinggi dan kemiringan satu banding sepuluh, sedangkan untuk ram di luar bangunan gedung harus paling besar memiliki kelandaian 50 derajat. Lebar efektif ram tidak boleh kurang dari 95 centimeter tanpa tepi pengaman atau kanstin (low curb) dan 120 centimeter dengan tepi pengaman. Tepi pengaman paling rendah memiliki ketinggian sepuluh centimeter dan memiliki pemandu arah, untuk permukaan datar awalan dan akhiran ram juga harus bertekstur, tidak licin. Ram harus dilengkapi dengan dua lapis pegangan rambat (handrail) yang menerus di kedua sisi dengan ketinggian 65 centimeter untuk anak-anak dan 80 centimeter untuk orang dewasa.
Standar kelengkapan sarana dan prasaranan lainnya mengenai ruang ibadah dimana harus ditempatkan menjadi satu dengan bangunan gedung atau secara khusus terpisah pada lokasi yang layak, suci, mudah dilihat dan dicapai dilengkapi dengan penunjuk arah dan penanda yang informatif. Kemudian disampaikan terkait pengaturan ruang laktasi yang paling sedikit berukuran tiga meter kali empat meter yang mana disediakan bak cuci tangan, lemari, kulkas, dan tempat ganti popok bayi. Sementara untuk tempat penitipan anak disarankan untuk menghindari furniture yang besudut tajam atau bahan materialnya mengandung bahan berbahaya.
Sarana dan prasarana lainnya yaitu toilet. Untuk diketahui luas ruang dalam toilet penyandang disabilitas paling sedikit berukuran 152,5 centimeter dikali 227,5 centimeter serta dilengkapi dengan pegangan rambat. Daun pintu toilet penyandang disabilitas pada dasarnya membuka ke arah luar toilet dan memiliki ruang bebas sekurangkurangnya 152,5 cm antara pintu dan permukaan terluar kloset. Untuk pintu toilet penyandang disabilitas perlu dilengkapi dengan plat tendang dibagian bawah pintu untuk pengguna kursi roda dan penyandang disabilitas netra serta dilengkapi dengan engsel yang dapat menutup sendiri.
Dalam sosialisasi daring tersebut, juga turut menghadirkan tiga narasumber lainnya yaitu Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan drg. Kartini Rustandi; Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan, Kebijakan, dan Evaluasi Pelayanan Publik Wilayah I Kementerian PANRB Jeffrey Erlan Muller; Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan, Kebijakan, dan Evaluasi Pelayanan Publik Wilayah II Kementerian PANRB Noviana Andrina; Koordinator Koordinasi dan Pemantauan, Analisis, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan Kebijakan di Bidang Pelayanan Publik di Wilayah II-1 Kementerian PANRB Aris Samson; dan Talent Acquisition Executive Thisable Enterprise Fany Efrita. (fik/HUMAS MENPANRB)