Pin It
 20170505 Makassar Napta
Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan dan Evaluasi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan III Kementerian PANRB Naptalina Sipayung pada Workshop SAKIP Kan/Kota se-Provinsi Sulawesi Selatan, Rabu-Kamis (3-4/5).

MAKASSAR – Dari hasil evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) tahun 2016 yang dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mendapatkan predikat CC. Hal ini membuat Provinsi Sulawesi Selatan menduduki posisi ke-24 dari 34 Provinsi se-Indonesia. Untuk itu, Kementerian PANRB mendorong provinsi juga kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan untuk dapat menaikkan nilai SAKIP.

“Terutama delapan daerah di Sulawesi Selatan berpotensi ditingkatkan dari CC menjadi B bahkan BB,” ujar Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan dan Evaluasi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan III Kementerian PANRB Naptalina Sipayung pada Workshop SAKIP Kan/Kota se-Provinsi Sulawesi Selatan, Rabu-Kamis (3-4/5).

Naptalina menjabarkan delapan daerah tersebut antara lain Kota Makassar, Kab. Luwu Utara, Kab. Pangkajene dan Kepulauan, Kab. Gowa, Kab. Bulukumba, Kab. Sinjai, Kab. Takalar dan Kab Pinrang. Namun dirinya mengimbuhkan bahwa selain delapan daerah tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan pendampingan jika ada komitmen yang kuat dari instansi ntuk meningkatkan penerapan SAKIP dilingkungan pemerintahannya.

Dalam sambutan Gubernur Sulawesi Selatan yang dibacakan Asisten Administrasi Provinsi Sulawesi Selatan Ruslan Abu menyampaikan bahwa keinginan yang tinggi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk terus memperbaiki penerapan SAKIP. Dirinya juga akan mendorong kab/kota dibawahnya untuk memperbaiki SAKIP agar tidak tertinggal dengan daerah-daerah lain.

Pada kesempatan yang sama dilakukan penyerahan hasil Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi dan evaluasi SAKIP dengan predikat CC. Secara umum, predikat ini menggambarkan potensi terjadi inefisiensi lebih dari 30% dari APBD diluar belanja pegawai. Kondisi ini disebabkan antara lain belum jelas hasil yang akan dicapai atau sasaran tidak berorientasi hasil, ukuran kinerja tidak jelas dan tidak ada keterkaitan antara program/kegiatan dengan sasaran. “Kondisi inilah yang perlu diperbaiki untuk tercapainya organisasi yang berorientasi kinerja,” ujar Naptalina. (rr/HUMAS MENPANRB)