Ilustrasi : Pelayanan di BKPM
JAKARTA - Ketidakjelasan standar pelayanan di instansi pemerintah menimbulkan kerawanan terjadinya tindak pidana korupsi terkait pelayanan perizinan. Padahal, dalam Undang-Undang tentang Pelayanan Publik diinstruksikan agar setiap instansi pemerintah yang memberikan pelayanan harus memampangkan Standar Pelayanan.
Hal tersebut diungkapkan Asdep Koordinasi Pelaksanaan, Kebijakan, dan Evaluasi Pelayanan Publik Wilayah II Kedeputian Pelayanan Publik Kementerian PANRB, Jeffrey Erlan Muller di Jakarta, Selasa (30/8), saat menanggapi pernyataan dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyoroti tiga poin paling rawan terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan pemerintah yaitu pengelolaan APBD, pengadaan barang dan jasa, serta pelayanan peizinan.
"Kenapa sekarang timbul rawan korupsi? Wajar karena tugas-tugas yang ada di setiap instansi memunculkan adanya izin dan non perizinan. Seharusnya kalau dalam Undang-Undang Pelayanan Publik setiap instansi memiliki Standar Pelayanan dimana memuat 14 komponen dasar dalam pelayanan," kata Jeffrey.
Menurutnya, komponen yang paling penting yaitu mengenai syarat, prosedur, dan biaya pelayanan. Dikatakan, aturan dalam UU Pelayanan Publik yaitu semua pelayanan harus transparan karena semua pihak akan terlibat.
"Kemudian yang utama dari UU Pelayanan Publik adalah adanya partisipasi masyarakat. Ketika kita menyusun Standar Pelayanan itu harus melibatkan peran masyarakat, itu penting dalam hal penentuan standar-standar termasuk komitmen yang ada. Pemerintah sebagai penyedia jasa berkomitmen untuk mendukungnya, itu yang disebut service level agreement atau janji yang saya akan berikan kepada masyarakat," kata Jeffrey.
Jeffrey mengakui bahwa masih banyak pelayanan peizinan yang masih rawan tindak pidana korupsi. Karena di dalam Undang-Undang dijelaskan bahwa setiap tandatangan yang diberikan oleh pejabat merupakan izin untuk menyetujui suatu usaha, sehingga banyak pejabat yang merasa berkuasa ketika diberi wewenang untuk menandatangani perizinan.
"Sektor perijinan yang paling rawan terbanyak ada di daerah, atau terkait dengan Amdal, peredaran obat, dan kosmetik. Itu yang rawan dengan korupsi karena jumlahnya besar dan skalanya besar, serta tidak jelasnya standar pelayanan. Padahal, dalam standar pelayanan diatur mengenai pembatasan pertemuan tatap muka sehingga akan terhindar dari praktek korupsi karena semua sudah bisa dilakukan by online," kata Jeffrey.
Dia mengatakan, saat ini pemerintah khususnya Kementerian PANRB terus mendorong pelaksanaan Undang-Undang Pelayanan Publik, karena selain adanya pemenuhan Standar Pelayanan dan partisipasi masyarakat, juga adanya transparansi. "Salah satu yang ingin kita penuhi di 8 program reformasi birokrasi yaitu mengubah pola pikir dan budaya kerja pejabat kita. Karena selama ini orang yang bekerja harus selalu ada uang untuk menguntungkan dirinya sendiri dan mindset itu yang akan kita ubah," pangkas Jeffey. (ns/HUMAS MENPANRB)