Suasana Lokakarya MPP yang dilakukan secara virtual, Senin (14/06).
JAKARTA – Alur perizinan pada layanan pemerintah, sering dianggap berbelit. Namun kini, benang kusut birokrasi itu mulai bisa diurai dengan konsep Mal Pelayanan Publik (MPP). Berbagai daerah yang sudah membangun MPP, bisa memanfaatkan sistem satu data agar antarinstansi pemerintah dapat saling berkolaborasi menciptakan pelayanan yang cepat.
Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB Diah Natalisa menjelaskan, pemberi layanan dari pemerintah, BUMN/D, dan swasta harus bisa menerapkan sistem yang terintegrasi. "Bukan hanya menyatukan layanan secara fisik, namun yang terutama secara sistem, dimana keterpaduan ini mendorong adanya pemanfaatan data bersama yang memungkinkan terjadinya penyederhanaan dalam pengelolaan data dan informasi dalam proses pelayanan," jelas Diah dalam Lokakarya MPP, yang dilakukan secara virtual, Senin (14/06).
Lokakarya ini mengangkat tema Kolaborasi dan Integrasi Layanan pada Mal Pelayanan Publik. Tujuannya yakni melakukan re-commitment untuk melakukan kolaborasi dan mendorong integrasi layanan melalui penyelenggaraan MPP di seluruh Indonesia. Lokakarya ini diikuti oleh 32 pimpinan instansi pemerintah pusat dan sembilan pimpinan BUMN, termasuk dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Diah mengatakan, terwujudnya integrasi antar penyedia layanan bermuara pada penyederhanaan birokrasi pelayanan yang menimbulkan efisiensi waktu, biaya, serta kemudahan mendapatkan produk layanan, baik layanan administrasi, barang, dan jasa. "Diharapkan dengan adanya integrasi pelayanan melalui penyelenggaraan MPP dapat menciptakan iklim yang kondusif baik bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing global dan kemudahan berusaha di Indonesia," ungkap Diah.
Tentu, peningkatan kualitas layanan di MPP harus ditunjang dengan kompetensi ASN. Untuk itu, Deputi Pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara (ASN) Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI Muhammad Taufiq, pada lokakarya itu, menjelaskan bahwa setiap ASN tidak bisa bekerja untuk unitnya sendiri. Namun harus membangun kolaborasi, bahkan antarinstansi pemerintah.
Taufiq menegaskan, manfaat collaborative government adalah mampu memecahkan masalah. "Juga membangun basis rasa memiliki yang luas dan komitmen berbagai pihak," ungkapnya.
Pemerintahan kolaboratif bisa mewujudkan pemahaman lebih baik untuk memecahkan masalah kompleks yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Kinerja yang tidak ego sektoral memungkinkan kerja organisasi lebih efisien dalam menciptakan kinerja berbasis outcome.
Pembangunan kualitas layanan tak luput dari peran para pimpinan. "Kuncinya adalah memimpin kolaborasi ini beda dengan memimpin birokrasi. Birokrasi ini hierarki, kolaborasi lebih ke kemitraan. Pemimpin juga membangun terobosan, mencari peluang, dan orientasi outcome," jelas Taufiq.
Lokakarya ini juga menghadirkan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Badung I Made Agus A sebagai narasumber. Agus menerangkan, awalnya pelayanan di Kab. Badung tersebar serta sarana yang belum memadai.
Kondisi tersebut yang dijadikan tantangan bagi jajarannya. DPMPTSP Kab. Badung kemudian menegaskan masalah dan harapan masyarakat Badung. Harapan pertama, masyarakat membutuhkan layanan prima yang mudah, murah, aman, dan nyaman.
Agus menyampaikan, jajarannya memiliki enam strategi. Strategi tersebut adalah membangun komitmen, mengubah paradigma, mengubah layout ruang layanan dan digitalisasi sarana prasarana, pengawasan dan evaluasi, transformasi pelayanan secara online, serta pengembangan inovasi.
Saat ini, Pemkab Badung sedang menyempurnakan aplikasi Layanan Publik Badung. "Kami juga siapkan virtual account untuk pembayaran agar masyarakat merasa lebih aman," ungkapnya. (don/HUMAS MENPANRB)