Pin It

cover kipp 2019

 

JAKARTA - Ungkapan ‘belum makan jika belum makan nasi’ terdengar sangat familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, tidak semua daerah cocok untuk ditanami padi, misalnya di Kampung Adat Cireundeu. Bahkan, di wilayah ini cukup banyak ditumbuhi singkong beracun. Kenyataan itu menyadarkan Pemerintah Kota Cimahi untuk berupaya melakukan perubahan paradigma melalui diplomasi budaya kuliner atau gastrodiplomacy.

Ide untuk menerapkan diplomasi kuliner ini berawal dari adanya keunikan pada warga adat Cireundeu di Kota Cimahi, Jawa Barat. Alih-alih memakan nasi, warga Cireundeu lebih memilih mengonsumsi singkong beracun yang mengandung sianida tinggi. “Sudah 100 tahun warga makan singkong dan tidak ada yang kena diabetes,” jelas Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna dalam wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik 2019 di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Walau bahan mentahnya beracun, warga Cireundeu mampu menghasilkan pangan yang aman, berserat tinggi, bergizi, rendah kadar gula, dan juga beragam. Inilah yang menjadi kekuatan utama inovasi ini, yakni pemanfaatan budaya termasuk pengetahuan lokal dalam mengolah singkong, berkebun, dan juga mengelola alam. Keunikan di kampung adat ini juga menjadikan gastrodiplomacy mengusung konsep wisata edukasi budaya.

Dengan mengusung konsep wisata edukasi budaya, inovasi yang menargetkan para pelajar, mahasiswa, budayawan, serta pemerhati lingkungan ini tidak hanya mampu meningkatkan ketahanan pangan, tapi juga memotivasi anak-anak maupun pemuda Cireundeu untuk mengejar pendidikan. “Bahkan, kini sudah terdapat warga adat yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi,” terang Ajay.

 

20190708 Pemkot Cimahi Gastrodiplomacy Cirendeu 2

Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna saat presentasi dan wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik 2019 di Kementerian PANRB.

 

Inovasi yang merupakan pilot project dari Bidang Litbang Bappeda Cimahi ini tidak menitikberatkan pada penjualan produk keluar daerah (outward), melainkan berorientasi pada pembangunan ke dalam (inward). Strategi yang dilakukan adalah dengan mengintegrasikan aktivitas menikmati kuliner, berkesenian, belajar kearifan pertanian dan lingkungan hidup, tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat di homestay yang merupakan rumah-rumah warga.

Selain itu, Cireundeu juga dijadikan lokus summer course mahasiswa nasional dan internasional melalui kerja sama dengan berbagai universitas di Jawa Barat, Uni Eropa dan jaringan internasional Value-chain Capacity Building Network (VCBN). “Dalam pelaksanaannya, ada kerja sama dengan perguruan tinggi di Bandung seperti UNPAD, UNPAR, dan UNJANI,” ujar Ajay.

Tidak hanya bekerja sama dengan pemerintah daerah dan juga dinas terkait, dalam pelaksanaannya inovasi ini juga didukung oleh pengurus adat Cireundeu. Terdapat empat kelompok penggerak pariwisata, yaitu pengolah Rasi (beras yang terbuat dari singkong), kelompok kesenian, kegiatan alam ke Puncak Salam dan homestay. Banyak juga pengusaha travel yang rutin membawa turis domestik dan mancanegara ke Cireundeu.

Pemahaman akan pangan alternatif dan budaya pun meningkat, sebagai akibat dari pengalaman positif para wisatawan yang pernah tinggal beberapa hari di Cireundeu. Hasilnya, terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah kunjungan hingga mencapai 33 persen dan peningkatan pejualan produk olahan Rasi sebesar 85 persen.

Keunikan dan lokasi Cireundeu dinilai memiliki daya tarik tinggi sebagai destinasi wisata edukasi di Bandung Raya. Keterlibatan anak-anak dan pemuda dari kelompok adat diharapkan dapat melanjutkan program ini dan melestarikan budaya Sunda Buhun Cireundeu sehingga dapat meningkatkan pariwisata dan perekonomian daerah. “Kami yakin model Cireundeu ini dapat digunakan dalam membangun desa maupun pariwisata pada pada masyarakat adat di Indonesia dan luar negeri,” tutup Ajay. (nan/HUMAS MENPANRB)