SAMARINDA - Reformasi Birokrasi sebuah keniscayaan tidak bisa ditawar lagi, dan harus menjadi sebuah gerakan nasional. Tanpa ada reformasi yang sungguh-sungguh, kita akan berulang pada problem yang sama dari satu dekade ke dekade berikutnya. Namun haus diakui bahwa mesin birokrasi merupakan produk jaman colonial, yang sampai sekarang tidak banyak berubah.
Ibarat mobil atau pesawat terbang, Yang berubah hanya warna, kaca spion, ban, sopir, jok, tapi mesinnya tidak diganti. “Mesinnya masih seperti jaman penjajah, akibatnya kita tidak bisa melaju dengan kecepatan tinggi. Kita tidak akan tinggal landas. Sedangkan negara-negara lain semua sudah berubah,” ujar Wakil Menteri PANRB Eko Prasojo.
Di sisi lain, harapan masyarakat bergerak menurut deret ukur, sedangkan kecepatan perubahan birokrasi bergerak menurut deret hitung. Itupun kalau melakukan perubahan. Apalagi kalau diam, tidak melakukan perubahan, sulit dibayangkan, karena harapan masyarakat itu sangat tinggi.
Dalam Seminar Reformasi Birokrasi melalui Remunerasi, yang diselenggarakan Jawa Pos Institute Pro Otonomi (JPIP), di Samarinda Kalimantan Timur, (8/05), Eko Prasojo mengharapkan agar harapan masyarakat dengan capaian reformasi birokrasi tidak terlalu jauh. “Kalau jenjangnya terlalu jauh, bisa jadi masyarakat menyatakan tidak ada lagi negara, tidak perlu lagi pemerintahan. Satu klik di atas reformasi adalah revolusi. Jangan sampai terjadi demikian,” tuturnya.
Eko Prasojo mencontohkan, 23 tahun yang lalu waktu masih mahasiswa, metromini no. 604 jurusan Tanah Abang - Pasar Minggu terkenal ugal-ugalan. Sering menurunkan penumbang di sembarang tempat, memindahkan penumpang ke metromini lain. “Saya lihat 3 - 4 minggu yang lalu, hal yang sama, bahkan lebih ugal-ugalan dari 23 tahun yang lalu,” tuturnya.
Ini berarti bahwa bangsa kita ini baru bisa membangun gedung sekolah, membangun jalan dan jembatan, dan berbagai macam bangunan fisik, tapi tidak membangun kultur bangsanya. Ini berbeda dengan Singapura atau Malaysia, yang relatif punya kultur dan karakter bangsanya.
Wamen menambahkan, semua itu merupakan problem yang harus diperbaiki. Dan itu, ucapnya, bisa terjadi kalau birokrasinya baik, bersih dan melayani, menjadi suri tauladan bagi masyarakatnya. Keberadaan negara bisa diukur dari kualitas pelayanan publiknya.
Di sinilah perlunya reformasi birokrasi, yang pada dasarnya terdiri dari reormasi kultur dan struktur. Untuk saat ini, yang terpenting adalah bagaimana melakukan perubahan kultur. "Jangan sampai kita pada satu kesimpulan, kita melakukan banyak perubahan, tapi tidak ada yang berubah," tambah Guru Besar UI ini. Ditambahkan, perubahan dalam reformasi birokrasi yang penting adalah perubahan kultur birokrasi, persepsi, mental model, paradigm. Kalau perubahan struktural saja, begitu orangnya pergi, akan kembali pada yang lama.
Dari sisi regulasi, setidaknya ada 3 rancangan UU yang harus didorong, agar reformasi birokrasi dapat berkelanjutan. Pertama, RUU ASN yang mengatur orangnya, RUU Administrasi Pemerintahan yang mengatur perilaku pejabat, dan RUU yang mengatur pengawasan internal pemerintah, yang mangatur bagaimana pengawasan pemerintah ini harus jalan. Kalau pengawasan internalnya sudah jalan dengan baik, BPK akan semakin mudah melakukan pengawasan.
Harus diakui, dewasa ini banyak pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi, karena pengawasan internalnya tidak jalan. “Tiga RUU ini kita dorong bersama, karena ini merupakan fondasi penting dalam membangun birokrasi. Saya harap sebelum pemerintahan SBY berakhir, bisa menjadi UU,” ucap Wamen. (swd/HUMAS MENPANRB)