JAKARTA – Dalam banyak kasus, reformasi birokrasi di Indonesia itu baru dalam tahap sosialisasi, sehingga knowlage belum terinternalisasikan dalam bentuk perubahan mentalitas, kualitas, budaya melayani belum terbentuk. Melalui one agen one innovation diharapkan bisa menginternalisasi dalam diri individu, sehingga perbaikan proses bisnis diikuti dengan perbaikan cultur, perilaku, dan pola pikir dalam diri birokrat .
Wakil Menteri Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Eko Prasojo mengatakan, kalau hanya fokus memperbaiki sistem tanpa memperbaiki mentalitas, sistem ini tidak sempurna, karena sistem itu digerakkan oleh orang. “Karena itu, kita harus memperbaiki sistem dan individu,” ujarnya dalam rapat inovasi pelayanan publik di lingkungan POLRI, di Kementerian PANRB, Kamis (10/10).
Wamen menekankan pentingnya inovasi dalam pelayanan publik. Namun diharapkan, semua perubahan yang dilakukan harus menghasilkan tangible asset (aset berwujud) dengan hasil yang nyata, yang bisa dirasakan oleh masyarakat maupun dunia usaha. Dia mengakui, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah sudah berupaya keras untuk menciptakan perubahan-perubahan nyata. Salah satunya, seperti yang dilakukan oleh POLRI,” ujarnya.
Terkait dengan konsep one agent one innovation, Guru Besar UI ini berharap agar setiap instansi melaksanakan inovasi utama (main innovation) yang benar-benar menonjol dan bisa membawa dampak pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Dalam kesempatan itu Wamen mengapresiasi inovasi pelayanan yang telah dilakukan oleh POLRI, yang umumnya dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Salah satunya National Traffic Management Centre (NTMC). Selain bermanfaat bagi masyarakat, inovasi ini juga mendapat penghargaan dari sejumlah pihak, serta mendapat kunjungan tamu dari luar negeri.
Wamen Eko Prasojo menambahkan, indikator utama keberhasilan inovasi pelayanan publik adalah dalam hal pengaduan masyarakat. Sebab masyarakat sendiri yang akan menilai keberhasilan tersebut. “Mereka bisa menilai dengan indeks keluhan dan ketidakpuasan terhadap pelayanan birokrasi pemerintahan baik daerah maupun pusat,” sergahnya.
Diungkpakan, ada beberapa daerah yang sudah mempunyai sistem pengaduan yang cukup baik, seperti Yogyakarta dan Surabaya. “Pengaduan masyarakat yang benar adalah sudah menjadi feedback bagi manajemen bagi ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik,” ucapnya.
Ada tiga standar pelayanan yang diinginkan oleh masyarakat, yang pertama, berapa lama waktu yang dibutuhkan, bagaimana prosesnya, berapa harganya dan prosedurnya seperti apa, dari itu semua harus ada.
Yang kedua, kalau masyarakat tidak puas, bisa mengadu atas standar pelayanan yang sudah dibuat oleh instansi pemerintah melalui complain handling sistem atau sistem pengaduan masyarakat. “Masyarakat tahu, tanggal berapa dia mengadu dan tanggal berapa dia menjawab, bukan hanya kotak saran,” tandasnya.
Ketiga, pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Dengan pengukuran ini, masyarakat bisa tau sejauh mana kepuasan masyarakat selama ini. (cry/HUMASMENPAN)