SAMARINDA – Resistensi dari orang yang tidak menginginkan perubahan (status quo) merupakan tantangan tebesar reformasi birokrasi. Mereka akan menggalang kekuatan tandingan untuk melakukan perlawanan terhadap perubahan. Padahal di pihak lain, masyarakat tidak sabar ingin segera menikmati buah reformasi birokrasi.
Pada dasarnya orang tidak ingin berubah, apalagi bagi mereka yang sedang berada dalam zona nyaman. Kalau diajak berubah selalu mencari berbagai alasan, baik di dalam internal birokrasi itu sendiri maupun secara politik. “Ini yang harus kita waspadai bersama, kalau kita ingin berubah,” ujar Wakil Menteri PANRB Eko Prasojo di Samarinda, Rabu (08/05).
Untuk menghadapi ini semua, dibutuhkan kekuatan ketiga yaitu pressure dari masyarakat. “Sebab kalau mengharapkan birokrasi melakukan perubahan dari dirinya sendiri tidak akan terjadi,” tambah Wamen. Ditambahkan, pressure dimaksud, yaitu masyarakat, perguruan tinggi, pebisnis dan pengusaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), terutama dari pers.
Dalam ketatanegaraan, semua keputusan politik penting, baik dari parlemen, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD, tetap saja yang akan menjalankan adalah birokrasi. “Ini yang menjadi problem terbesar bangsa Indonesia,” tutur Eko Prasojo, dalam Seminat Reformasi Birokrasi melalui Remunerasi, yang diselenggarakan JPIP, di Samarinda Kalimantan Timur, (8/05).
Diakui, ada banyak konsep bagus, baik dalam ketatanegaraan, pemerintahan maupun pembangunan. Tetapi kenapa tidak terlalu baik dalam pelaksanaannya. Problem terbesar ada pada pelaksananya, yaitu birokrasi sebagai mesin pelaksana.
Namun, masih sangat sedikit orang yang memberikan perhatian, karena mereka lebih suka terhadap politik, penegakan hukum. Ini bisa dilihat dari pemberitaan di media massa. Hanya sedikit yang memberikan perhatian pada perbaikan pelayanan publik, bagaimana perbaikan pengukuran kinerja pegawai. “Ini hampir menjadi isu marjinal,” tambahnya.
Birokrasi sebagai program dan gerakan, sulit sekali diwujudkan dalam praktek. Diperlukan dukungan yang luar biasa untuk melakukan perubahan-perubahan secara struktural dan kultural. Lagi-lagi, dukungan itu sampai sekarang juga masih sangat sedikit.
Guru Besar UI ini sependapat dengan Khairul Tanjung, yang mengatakan problem terbesar dalam MP3EI adalah kondisi birokrasi. Kegagalan kita dalam pembangunan, sebagian besar adalah kontribusi dari buruknya birokrasi yang ada. Buruknya birokrasi itu, menurut Eko Prasojo, pada umumnya, karena tidak kompeten. Jumlahnya banyak, tapi kalau kita cari dengan spesipikasi tertentu, tidak ketemu, atau jarang sekali. Over staff, tapi juga sekaligus under staff. Over dari sisi jumlah tapi under dari sisi spesifikasi, tutur Wamen.
Problem masif lainnya dari birokrasi yang paling umum adalah arogansi kekuasaan, nepotisme yang pada umumnya pada kerusakan moral. Ini yang susah dikontrol. Sebenarnya, imbuh Eko, penyakit birokrasi itu ada 175 jumlahnya.
Namun diingatkan bahwa kerusakan terjadi pada sistem, bukan kerusakan individu. Orang sehebat apapun, kalau masuk dalam birokrasi yang korup, maka dia akan korup juga. Kalau tidak korup, dia akan menjadi pesakitan. Di luar mainstream, akhirnya nggak dapat posisi, dan tidak dipromosikan. "Saya mohon maaf kepada para birokrat, saya juga birokrat. Hal ini saya ungkankan supaya tahu problem kita, kalau kita mau memperbaikinya,” sergah Wamen Eko Prasojo.
Menghadapi masalah tersebut, harus dilakukan reformasi birokrasi yang cepat, terukur, dan melakukan terobosan-terobosan pembangunan. “Kalau kita membiarkan hal ini terus terjadi, sebenarnya kita sedang menuju pada satu kerusakan dan kegagalan pembangunan,” ucapnya. Sebab bila ini terus terjadi, lanjutnya, semua konsep yang baik itu tidak akan bisa dilaksanakan oleh birokrasi. Belum bicara tentang efisiensi dan efektifitas.
Problem lain yang dihadapi, tidak mudah meyakinkan kepada bangsa Indonesia ini bahwa reformasi birokasi itu penting. Pasalnya, reformasi birokrasi itu tidak bisa instan, seperti menanam pohon musiman. Reformasi birokrasi seperti menanam pohon tahunan, yang bisa dipetik setelah 15 - 20 tahun mendatang. Para politisi juga tidak sabar, karena mereka ingin agar buah reformasi birokrasi bisa kelihatan dalam 5 tahun.
Sebagai perbandingan, di Korea Selatan, reformasi birokrasi butuh waktu selama 30 tahun. Mereka juga mengakui, bahwa Indonesia ini masih pada reformasi level dasar. Yang kita bangun sekarang, bagaimana mengubah kultur birokrasi, yang jauh lebih sulit daripada melakukan perubahan structural. Kalau kita memulainya sekarang, akan bisa tercapai paling cepat 15 tahun yang akan datang. “Kalau kita menunda maka akan tertunda lagi,” ujar Wamen. (swd/HUMAS MENPANRB).