Salah satu cabang Toko Milik Rakyat atau Tomira yang berada di wilayah Kabupaten Kulon Progo
WATES - Sumiyati (67) warga Kabupaten Kulon Progo mengaku senang dan bangga senang dengan hadirnya Tomira di dekat rumahnya. Betapa tidak, di Toko Milik Rakyat (Tomira) ini produk lokal juga tersedia. "Senang, karena ini punya rakyat. Buka juga 24 jam, kalau aku butuh apa-apa mudah," ujarnya.
Bukan hanya Sumiyati, warga Kulon Progo lainnya, Nathaniel (25) yang juga warga Kulon Progo mengatakan Tomira merupakan langkah nyata Pemkab Kulon Progo untuk meningkatkan perekonomian rakyat. "Sangat bangga ada Tomira. Kopi olahan warga Kulon Progo juga bisa dikenal karena dijual di sana," ujarnya.
Tomira merupakan model pemberdayaan ekonomi lokal dengan kemasan modern. Tomira merupakan jawaban atas menjamurnya minimarket modern berjejaring di berbagai daerah di Indonesia. Betapa tidak, kalau tidak diatur dengan baik, tidak jarang kehadirannya menggerus perekonomian masyarakat setempat lokal.
Untuk menyelamatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menginisiasi program yang dinamakan Toko Milik Rakyat (Tomira). Dengan tagline Bela Beli Kulon Progo, Pemkab Kulon Progo mengeluarkan Perda No 11 tahun 2011 yang mengatur perlindungan pasar tradisional serta penataan pusat perbelanjaan dan toko modern. "Konsekuensi Perda itu ialah, semua minimarket modern dengan jarak kurang dari 1.000 meter harus menentukan pilihan, yaitu tak diperpanjang izin, tutup, atau diambil alih oleh koperasi," ungkap Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kab Kulon Progo Sri Harmintarti, Sabtu (31/08).
Dikatakan, sejumlah minimarket modern yang berganti nama menjadi Tomira hanya sebagai suplier. Bahkan, dalam perjanjian dengan sejumlah minimarket dengan koperasi, minimal ada 20 persen produk lokal yang dijual. Produk yang dijual rata-rata berupa makanan ringan, kopi hasil bumi Kulon Progo, kecap, dan sebagainya. "Ke depan, hasil kerajinan seperti tas rajut, pajangan, dan lainnya juga akan masuk ke Tomira, "ujarnya.
Pola kemitraan ini juga bermanfaat untuk pelatihan secara langsung bagi anggota koperasi dalam pengembangan dan pengelolaan toko modern. Sehingga kualitas SDM meningkat, terjadi transfer teknologi, dan transfer pengetahuan.
Sri Harmintarti menjelaskan, untuk bisa masuk ke pasar modern, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya ialah nomor Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT), tempat produksi yang harus higienis, dan kemasan yang sesuai standar. Padahal, rata-rata pelaku usaha ialah warga yang berada di garis kemiskinan. Sehingga ruang produksi sering dinilai kurang higienis.
Dengan hadirnya Tomira, khususnya para anggota koperasi sangat terbantu. "Ketika mereka bisa masuk Tomira, itu ada suatu kebanggaan," ujar Sri. Koperasi bisa memberikan pinjaman untuk membangun tempat masak yang lebih higienis, sehingga bisa mereka melengkapi syarat dan bisa masuk ke toko modern. Fasilitas ini tidak hanya diberikan kepada anggota koperasi, tapi juga bagi non-anggota. Menurut Sri, pelaku usaha yang bukan anggota koperasi merasakan fasilitas itu, nantinya akan tertarik menjadi anggota.
Program yang berasaskan ideologi ekonomi kerakyatan ini juga dikuatkan dengan adanya Perda Nomor 5/2016 tentang Perlindungan Produk Lokal. Perda ini berujuan untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi yang terlindungi, dan pemberdayaan masyarakat.
Kini, sudah ada 16 gerai Tomira yang tersebar di Kab. Kulon Progo dan akan terus dikembangkan. Apalagi, kini sedang dibangun New Yogyakarta International Airport (NYIA) dan wisata bedah menoreh di wilayah Kulon Progo. "Jangan sampai usaha UMKM warga Kulon Progo terpinggirkan," imbuh Sri.
Program ini juga bisa direplikasi oleh daerah-daerah lainnya. Menurut Tety, sudah ada beberapa daerah yang tertarik dengan Tomira. Sebut saja Purworejo dan Semarang yang sudah studi banding mengenai program ini. Kalau Kulon Progo bisa, daerah lain pasti bisa. Kuncinya, sejauh mana komitmen pimpinan daerah itu sendiri. (don/HUMAS MENPANRB)