JAKARTA – Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 sudah di depan mata. Sejak beberapa bulan terakhir, iklim politik di berbagai daerah sudah terasa. Sejumlah bakal calon kepala daerah sudah memasang atribut politiknya. Di Jawa Barat, ada bakal calon wakil gubernur yang sudah memasang foto dirinya besar-besar di tempat-tempat strategis sejak pertengahan 2017 silam.
Memanasnya suhu politik dikhawatirkan bakal menyeret peran Pegawai Negeri Sipil (PNS)/ Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga anggota TNI, dan POLRI yang seharusnya bersikap netral. Tak jarang mereka terlibat dalam proses pemenangan, sejak dari pencalonan, kampanye, bahkan pengerahan massa untuk memenangkan salah satu kontestan.
Setidaknya ada delapan perilaku PNS/ASN yang menjurus kepada sikap tidak netral menjelang pilkada serentak 2018. Bukan mustahil ada PNS/ASN yang terlibat dalam pemasangan alat peraga kampanye berupa spanduk, baliho, dan sebagainya. Ada juga NS/ASN yang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal pasangan calon pada pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur (Pilgub/ Pilwagub), Pemilihan Bupati/Wakil Bupati (Pilbup/Pilwabup), atau Pemilihan Walikota/Wakil Walikota (Pilwakot/Pilwawakot). Sebut saja Sekda Jawa Barat, Sekda Sulawesi Tenggara, Sekda Bantaeng, Sekda Ciamis, dan lain-lain.
Perilaku lain, PNS/ASN ikut serta dalam deklarasi paslon dengan memakai atribut atau menyanyikan yel-yel paslon terkait. PNS/ASN juga ada yang memposting di akun media sosialnya berupa comment, like, atau bahkan imbauan. Belum lagi yang foto bersama dengan mengikuti simbol yang digunakan paslon.
Ada juga PNS yang merupakan suami/ istri bakal paslon ikut dalam kegiatan deklarasi dan mengimbau pihak lain untuk berpihak ke bakal paslon tersebut. Pejabat pemda juga ada yang memfasilitasi dan ikut serta dalam kegiatan deklarasi paslon, dan ada ASN yang hadir atau menjadi narasumber pada kegiatan pertemuan partai atau ulang tahun partai politik.
Berbagai tindakan tersebut merupakan bentuk-bentuk pelanggaran netralitas PNS/ASN, atau setidaknya berpotensi menimbulkan pelanggaran netralitras. Kalau itu terjadi, maka sanksi sedang hingga berat siap dijatuhkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Berdasarkan data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) selama tahun 2016 dan 2017, terdapat 45 pelanggaran netralitas PNS/ASN dalam Pilkada serentak. Di tingkat provinsi, tercatat sebanyak 6 kasus, sedangkan pelanggaran di tingkat kabupaten/kota tercatat ada 39 kasus. Sebagian besar, yakni 34 kasus sudah diselesaikan secara tuntas, dan tinggal 11 kasus yang masih dalam proses penyelesaian.
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) dengan tegas mewajibkan para Aparatur Sipil Negara (ASN) bersikap netral dalam setiap perhelatan politik.
Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, ada sanksi yang akan dijatuhkan kepada PNS/ASN jika masih melanggar aturan yang sudah ditentukan. “Tindak lanjutnya berupa hukuman disiplin dari sedang sampai berat. Jadi tidak ada hukuman yang ringan,” tegas Setiawan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI, Kamis (30/11).
Sebenarnya, upaya mencegah pelanggaran netralitas PNS/ASN sudah dilakukan terus. Tahun 2015 Kementerian PANRB menandatanganai Memorandum of Understanding (MoU) Netralitas ASN dengan Kementerian Dalam Negeri, KASN , Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatr Sipil Negara (KASN) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum RI (Bawaslu).
Bentuk kerjasama itu adalah melakukan pengawasan netralitas ASN dalam pilkada, merumuskan dan mendorong langkah-langkah tindak lanjut, membuat rekomendasi kepada pihak yang berwenang, melakukan koordinasi, sinkronisasi dan komunikasi bersama, serta melakukan pertukaran data informasi serta sosialisasi bersama.
Netralitas ASN ini sebenarnya sudah diperintahkan oleh Undang – Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) secara tegas menyatakan bahwa ASN berperan sebagai perencana, pelaksana dan penyelenggaran tugas umum pemerintahan dalam peran nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang professional, bebas dari intervensi politik serta bersih dari praktek KKN.
Selain UU ASN, ada beberapa dasar hukum lain yang menyatakan ASN harus bersikap netral. Dasar hukum itu adalah UU No. 10 tahun 2016 tentang penetapan PP nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Secara teknis, hal itu juga diatur dalam Peraturan pemerintah (PP) no. 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, serta PP no. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Melalui Surat Edaran (SE) Menteri PANRB No. B2355 tanggal 22 Juli 2015 pemerintah juga melarang penggunaan aset pemerintah dalam Pemilukada. Intinya, pemerintah akan menjatuhkan sanksi bagi PNS/ASN yang terlibat dalam penyelenggaraan kampanye yaitu sanksi hukuman sedang sampai berat. Sanksi sedang yaitu berupa penundaan promosi, penundaan tunjangan kinerja, penundaan kenaikan gaji sampai dengan pemberhentian homat hingga pemberhentian tidak hormat.
Menteri Dalam Negeri juga menerbitkan SE nomor 273/3772/SJ tanggal 10 Oktober 2017, yang melarang penggunaan fasilitas pemda dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta alikota dan Wakil Walikota.
Terhadap ASN yang melanggar disiplin netralitas berdasarkan temuan Bawaslu Provinsi atau Panwaslu Kabupaten/Kota, segera ditindak lanjuti dengan rekomendasi KASN. Apabila Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tidak menjalankan rekomendasi KASN, maka Menteri PANRB berdasarkan pasal 33 ayat 3 UU ASN akan menjatuhkan sanksi terhadap PPK.
Pasal 33 ayat 3 UU ASN juga menetapkan, sanksi dilakukan oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN terhadap keputusan yang dilakukan oleh PPK, serta dilakukan oleh menteri terhadap keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, dan terhadap PPK di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Untuk memastikan terlaksananya ketentuan Undang-Undang No. 5/2014 tersebut, Kementerian PANRB terus melakukan sosialisasi bersama-sama dengan Kemendagri dan kepala lembaga lainnya. “Kami melakukan pengawasan totalitas dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota,” pungkasnya. (don/HUMAS MENPANRB)