Pin It

Tanggal 23 Juni 2009 yang diperingati sebagai Hari Pelayanan Publik Internasional menjadi sangat istimewa bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, pada hari itu DPR RI menggelar Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Pelayanan Publik menjadi undang-undang.

  Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Muahaimin Iskandar, sepuluh fraksi di DPR RI menyetujui agar RUU Pelayanan Publik disahkan. Kesepuluh fraksi dimaksud adalah Fraksi PDS, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PBR, Fraksi PDIP, Fraksi PBD, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKB, dan Fraksi PAN. 

  Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi selaku wakil pemerintah, dalam pemandangan akhirnya menyatakan, meski pembahasan RUU itu berlangsung cukup lama, yakni sejak tahun 2005, tetapi perdebatan yang terjadi semuanya bersifat konstruktif. Semua itu semata-mata bertujuan untuk membawa RUU ini menjadi peraturan perundangan yang dapat memberikan arah dan pedoman dalam hubungan yang jelas antara penyelenggara pelayanan publik dengan masyarakat selaku pengguna layanan.

  Lebih lanjut dikatakan, UU Pelayanan Publik ini memiliki karakter yang berbeda dengan undang-undang pada umumnya, yang mengatur bagaimana sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. ”Undang Undang ini memuat kepentingan rakyat, yakni bagaimana memberdayakan rakyat dengan sebaik-baiknya agar dapat menikmati dan memanfaatkan pelayanan publik,” ujar Menegpan.

  Selain mengatur hak dan kewajiban masyarakat, UU ini juga lebih mendorong penyelenggara pelayanan publik, termasuk pemerintah, untuk lebih disiplin dan meningkatkan kinerjanya. ”Karena itu, dalam pembahasan RUU ini tidak terjadi pertentangan yang serius, karena yang diusung adalah betul-betul untuk kepentingan rakyat,” tambahnya.

  Dikatakan juga bahwa UU tentang Pelayanan Publik merupakan fondasi dari reformasi birokrasi. Dalam hal ini, pelayanan publik bukan embel-embel dari birokrasi, tetapi merupakan amanah yang harus dipikul oleh birokrasi itu sendiri. Undang-undang ini memberikan kepastian dan keharusan birokrasi untuk melayani.

  Diakui, selama ini banyak kesenjangan, lantaran ketiadaan komunikasi yang seimbang antara yang melayani dan yang dilayani, sehingga sering menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan. ”Dengan undang-undang ini, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, dan menjadi jembatan komunikasi antara kedua belah pihak,” tambah Menteri Taufiq Effendi.

  Lingkup penyelenggara pelayanan publik menurut UU ini tidak hanya penyelenggara negara saja, tetapi juga meliputi korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang, dan badan hukum yang dibentuk untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Bukan hanya pelayanan publik yang dananya bersumber dari APBN/APBD, tetapi juga yang sumbernya di luar APBN/APBD, yang pelayanannya mengemban misi negara.

  Menpan juga menekankan bahwa UU ini merupakan yang pertama memberikan sanksi atas kelalaian penyelenggara atau pelaksana pelayanan publik. Sanksi itu mulai dari ganti rugi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta sanksi administratif. ”UU Pelayanan Publik juga mempertegas dan memperluas peranan Ombudsman dalam mendorong terciptanya pelayanan yang memuaskan masyarakat,” tambahnya. (HUMAS MENPAN)  


Cetak   E-mail