Suasana halal bihalal di Kementerian PANRB, Senin (11/07)
Penggagas istilah “halal bi halal” adalah KH. Wahab Chasbullah. Ceritanya, setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, di antaranya DI/TII, PKI Madiun, dan lain-lain.
Pada tahun 1948, di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana untuk dimintai pendapat dan sarannya guna mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.
Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
“Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah halal bi halal,” jelas Kyai Wahab.
Dari saran Kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke istana menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintahan, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah Halal bi Halal sebagai kegiatan rutin dan tradisi di Indonesia saat Idul Fitri seperti sekarang ini.
Istilah “halal bi halal” ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl ) yang berarti mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua: (halâl “yujza’u” bi halâl), yakni pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Halal bi halal adalah kearifan lokal dari para pendahulu kita yang sekarang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat guna merekatkan (kembali) tali persaudaraan. (swd/dari berbagai sumber).