Wakil Presiden RI Jusuf Kalla didampingi Menteri PANRB Syafruddin dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro berfoto bersama tiga besar penerima evaluasi SPBE dari enam kategori di Jakarta, Kamis (28/03).
JAKARTA – Kehadiran Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) merupakan babak baru bagi tata kelola atau manajemen pemerintahan di Indonesia. Berdasarkan kebijakan tersebut, seluruh instansi pemerintah wajib menerapkan SPBE atau yang lebih dikenal dengan e-government.
Sebenarnya, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merupakan embrio dari e-government itu sendiri, bukan barang baru di tanah air, termasuk di kalangan birokrasi pemerintah. Namun, dalam implementasinya masih bersifat silo-silo, sehingga terjadi inefisiensi. Untuk memetakan e-government secara nasional, tahun 2018, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) melakukan evaluasi penerapan e-government pada 616 instansi pemerintah.
Hasilnya, sebanyak 82 instansi pemerintah (13,31%) berpredikat baik, sangat baik, dan memuaskan. Sedangkan, 534 instansi pemerintah (86,69%) berpredikat cukup dan kurang. Potret SPBE Nasional itu belum sesuai target yang diharapkan mencapai kategori predikat baik, dengan indeks 2,6 atau lebih yang diharapkan bisa tercapai pada tahun 2020. Hasil evaluasi itu diserahkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pekan lalu.
Dalam kesempatan tersebut, JK mengungkapkan sejumlah fakta mengenai penggunaan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pemerintahan. JK mengisahkan, jika dulu masyarakat perlu mengambil nomor antrean untuk urusan perbankan, kini urusan tersebut bisa selesai dalam genggaman tangan.
Digitalisasi tata kelola pemerintahan ini juga merupakan langkah nyata reformasi birokrasi yang bermuara pada peningkatan kualitas layanan publik. Seiring perkembangan zaman, birokrasi pemerintahan pun harus beradaptasi. Implementasi e-government akan menekan praktik curang dalam birokrasi, seperti pungutan liar, suap menyuap, bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Di tengah tantangan dunia menghadapi revolusi industri 4.0 ini, penerapan e-government bagi penyelenggara negara adalah sebuah keharusan, bukan pilihan. “Karena itu dengan Perpres 95 Tahun 2018, haruslah semua instansi pemerintah terus mengembangkan e-government,” tegas JK.
Bedasarkan Perpres tersebut, seluruh penyelenggara negara mulai dari pusat hingga daerah ‘dipaksa’ untuk menerapkan e-government secara terintegrasi sebagai babak baru pengelolaan semua urusan pemerintahan dan pelayanan masyarakat menerapkan SPBE. Dalam kesempatan itu, Menteri PANRB Syafruddin mengatakan, hasil evaluasi ini bukan mencari yang menang dan kalah, tetapi sebagai pemicu seluruh instansi pemerintah untuk membangun SPBE secara nasional. “Tugas ini bukan hanya bertumpu pada Tim Percepatan SPBE Nasional, namun oleh kita semua,” ungkapnya.
Digitalisasi sistem pemerintahan ini, adalah salah satu cara untuk mereformasi birokrasi yang bermuara pada pelayanan publik yang prima. Penerapan SPBE secara optimal akan berdampak pada integrasi sistem sehingga meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Semua pimpinan instansi pemerintah, dari pusat hingga daerah, harus mendukung akselerasi SPBE pada tiga domain utama, yaitu kebijakan, tata kelola, dan layanan.
Keamanan Data
Seiring dengan penerapan e-government ini, tentu ada sejumlah kekhawatiran, salah satunya adalah keamanan data. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang merupakan anggota Tim SPBE Nasional, berperan sebagai penjaga keamanan bagi sistem ini.
Direktur Proteksi Pemerintah BSSN, Ronald Tumpal mengatakan, BSSN bertugas mengidentifikasi, analisis kemampuan, kelemahan, peluang, dan ancaman serta menggambarkan hubungan antara proses bisnis, aplikasi, dan infrastruktur keamanan SPBE. Dalam konteks itu, BSSN mengontrol dua area, yakni arsitektur keamanan SPBE secara umum, dan arsitektur serta desain infrastruktur untuk keamanan aplikasi berbasis web serta perangkat bergerak.
Pengukuran hasil pengujian kerentanan terhadap aspek keamanan informasi dengan menggunakan Common Vulnerability Scoring System (CVSS) versi 3.0. Hasil skor tersebut bernilai numerik yang dapat diterjemahkan ke dalam representasi kualitatif (seperti low, medium, high, dan critical) untuk membantu organisasi menilai dan memprioritaskan proses pengelolaan kerentanan secara tepat. “Ketika terdapat hasil dengan kategori 'tinggi', maka secara otomatis aplikasi tersebut dinyatakan tidak lulus pengujian,” jelas Ronald.
Penerapan aplikasi untuk SPBE juga berkaitan dengan tugas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang juga menjadi anggota Tim SPBE Nasional. Salah satu tugas utama BPPT dalam penerapan e-government adalah mengoordinasi dan memberi pendampingan manajemen pengetahuan kepada seluruh instansi pemerintah.
Manajemen pengetahuan bermanfaat untuk mengurangi duplikasi upaya untuk mendapatkan suatu pengetahuan, mengurangi biaya dan waktu operasional layanan SPBE, dan meningkatkan kompetensi operator. Dengan pengelolaan ilmu pengetahuan yang baik, juga bisa memberdayakan operator, penerima manfaat SPBE, staf TIK, dan analis proses bisnis. Tujuan akhir adanya manajemen pengetahuan ini adalah peningkatan kualitas layanan SPBE.
BPPT juga memiliki peran untuk mengaudit aplikasi dan infrastruktur SPBE yang bertujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian dengan kriteria atau standar yang telah ditetapkan. Audit teknologi informasi ini meliputi pemeriksaan pada empat hal pokok, yakni penerapan tata kelola dan manajemen TIK, fungsionalitas TIK, kinerja yang dihasilkan, serta aspek TIK lainnya.
Pelaksanaan audit harus berkoordinasi dengan Kemenkominfo untuk pemantauan audit, evaluasi audit, dan pelaporan audit. “Audit aplikasi dan infrastruktur wajib dilaksanakan paling sedikit satu kali dalam dua tahun,” jelas Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT, Michael Andreas.
Meski semua anggota Tim SPBE Nasional sudah bekerja cukup baik sesuai tupoksinya, masih ada sejumlah kendala yang dialami instansi pemerintah dalam menerapkan SPBE. Kendala yang saat ini ditemui antara lain infrastruktur telekomunikasi yang belum memadai. Bahkan di beberapa daerah yang masuk dalam kategori 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), masih ada kendala energi listrik yang belum optimal.
Untuk menyelesaikan kendala-kendala itu, Tim SPBE akan memberikan bimbingan langsung kepada instansi pemerintah. “Dari Tim SPBE akan lakukan intervensi untuk peningkatan SPBE. Kita akan lakukan pembinaan terhadap hasil evaluasi,” ujar Asisten Deputi Perumusan Kebijakan dan Koordinasi Pelaksanaan Sistem Administrasi Pemerintahan dan Penerapan SPBE Kedeputian Kelembagaan dan Tata Laksana, Imam Machdi.
SPBE tak sekadar mengubah administrasi pemerintahan yang tadinya manual, menjadi digital atau komputerisasi. Lebih dari itu, sistem antar unit kerja bahkan antar instansi harus terhubung atau terintegrasi. “Kita ingin keterpaduan penerapan SPBE di pusat, daerah, dan secara nasional,” imbuh Imam.
Pembinaan yang dilakukan oleh Tim SPBE tentu akan didasarkan pada hasil evaluasi. Imam menjelaskan, bentuk pembinaan itu ada yang khusus dan umum, tergantung pada hasil evaluasi yang diterima oleh suatu instansi. Dengan pembinaan langsung ini, diharapkan implementasi SPBE akan optimal dan tepat sasaran.
Arsitektur hingga rencana induk SPBE Nasional tertuang dalam Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2018 tentang SPBE. Landasan hukum itu juga mengatur tentang peran masing-masing anggota Tim SPBE. Tim SPBE terdiri dari Kementerian PANRB, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, BPPT, serta BSSN. “Dengan Perpres SPBE kita memasuki babak baru. Ibarat main sepak bola, ini adalah babak kedua,” pungkas Imam. (don/HUMAS MENPANRB)