Foto: Humas Ekon
Jakarta, InfoPublik - Dalam menghadapi lanskap ekonomi pascapandemi yang rentan, ditambah dengan ancaman perubahan iklim, ASEAN perlu menyusun strategi untuk memperkuat diri membangun kapasitasnya.
Isu-isu perubahan iklim akan mempengaruhi arah ekonomi kawasan di masa depan, oleh karenanya diperlukan langkah-langkah konkret yang mengarah pada rendah karbon.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memimpin delegasi RI dalam pertemuan Dewan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang digelar di Phnom Penh, Kamboja pada Rabu (9/11/2022).
Pertemuan itu, bertujuan memperkuat kesiapan ASEAN menghadapi ancaman dan membangun kapasitasnya untuk ketahanan jangka panjang. Diperlukan kerja sama lintas sektor seperti pertanian, energi dan transportasi untuk memastikan bahwa semua inisiatif yang telah ada bisa berjalan dengan efektif. Daya saing perdagangan dan kualitas hidup masyarakat akan menurun jika masih menerapkan ‘business as usual’.
“Perubahan iklim diperkirakan akan mengurangi 4 – 18 persen dari PDB global pada 2050, sementara di ASEAN diperkirakan akan kehilangan 4 – 37 persen PDB-nya,” ujar Menko Airlangga.
Lebih lanjut Menko Airlangga menyampaikan bahwa transisi menuju masa depan yang berkelanjutan adalah kunci kemakmuran, ketahanan dan bahkan kelangsungan kawasan. Kemudian, Menko Airlangga juga menyampaikan bahwa agenda dekarbonisasi tidak hanya menjadi milik Pemerintah tetapi harus menjadi upaya bersama yang juga melibatkan sektor swasta dan masyarakat yang paling terkena dampak perubahan iklim.
“Kita perlu mengarusutamakan agenda keberlanjutan di setiap lini kebijakan kita berdasarkan komitmen kita pada Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” kata Menko Airlangga. Saat ini ASEAN telah memulai inisiatif tersebut melalui Netralitas Karbon yang akan menjadi dasar untuk Visi Hijau ASEAN pasca-2025.
“Pengembangan strategi ASEAN dalam netralitas karbon harus mempertimbangkan perlunya transisi yang adil dan teratur serta memastikan bahwa tidak ada satupun negara anggota yang tertinggal,” tegas Menko Airlangga.
Secara lebih rinci, Menko Airlangga mengusulkan lima langkah yang perlu dilakukan yakni pertama, pengembangan strategi harus dilakukan secara inklusif, partisipatif dan konsultatif dengan semua sektor yang ada di ASEAN seperti mineral, iptek, keuangan dan industri serta melibatkan masyarakat. Kedua, perlu adanya pengawasan yang efektif sebagai dasar penyusunan kebijakan yang strategis. Ketiga, tingkatkan tata kelola implementasi yang akuntabel dengan memanfaatkan struktur ASEAN yang ada saat ini. Keempat, harus ada instansi pengampu di masing-masing negara untuk membahas inisiatif netralitas karbon. Kelima, melibatkan negara mitra secara aktif untuk mendapatkan dukungan dalam implementasi agenda pembangunan berkelanjutan di ASEAN.
Sekjen ASEAN menekankan bahwa skenario low carbon berpotensi memberikan manfaat ekonomi sebesar 12,5 triliun USD, rata-rata pertumbuhan GDP sebesar 3,5 persen pertahun untuk 50 tahun ke depan dan menciptakan 30 juta lapangan kerja lintas ASEAN di 2030.
Pada akhir pertemuan, semua Menteri menyepakati pernyataan bersama yang menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan di sektor ekonomi terutama sektor pertanian, energi dan transportasi. Para Menteri juga mendukung pengembangan strategi ASEAN dalam netralitas karbon yang terdiri dari: inventori Gas Rumah Kaca, pemanfaatan sumber daya alam yang digunakan untuk mendukung kredit karbon, menciptakan pasar karbon di kawasan, investasi teknologi rendah karbon dan infrastruktur yang inklusif dan berkelanjutan. (*)