Foto: Tangkapan Layar YouTube Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Jakarta, InfoPublik - Seluruh pihak, khususnya kaum perempuan, dan terutama para mahasiswa diserukan berani melawan kekerasan terhadap perempuan. Keberanian tersebut, diharapkan tumbuh dan berkembang di kalangan generasi penerus bangsa yang berpendidikan, demi terciptanya Indonesia dan dunia yang maju dan setara.
Hal tersebut, disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, pada webinar "Lawan Tabu, Perempuan Berani Bersuara" dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional 2022, yang mengusung tema gender equality today for sustainable tomorrow atau singkatnya break the bias, yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (8/3/2022).
Menteri PPPA menegaskan, bahwa Indonesia terbentuk untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945.
Sebagai perwujudan dari komitmen tersebut, Pemerintah Indonesia juga mendukung berbagai konvensi internasional, serta membentuk berbagai peraturan perundangan untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan.
Begitu pula salah satu isu prioritas pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, sebagaimana arahan presiden Joko Widodo pada periode 2020-2024 salah satunya adalah penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Tentunya itu, bukan berarti pemerintah menomorduakan laki-laki, namun faktanya budaya patriarki yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat kita menempatkan perempuan dan anak, terutama anak perempuan pada posisi yang lebih rentan dibandingkan dengan laki-laki. Ketimpangan gender itu, kemudian membuat perempuan lebih rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, dan berbagai perlakuan salah lainnya. oleh karenanya selama kesetaraan gender belum kita capai, perhatian khusus memang perlu diberikan kepada perempuan dan anak," jelas Menteri PPPA.
Pada Desember 2021 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), telah merilis survei pengalaman hidup perempuan nasional 2021.
Meskipun mengalami penurunan prevalensi kekerasan, namun angka kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sangat memprihatinkan. Prevalensi kekerasan fisik dan atau seksual, yang dilakukan pasangan dan selain pasangan pada 2021 masih dialami oleh 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan usia 15 - 64 tahun selama hidupnya.
Sementara survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja 2021 menggambarkan, bahwa anak perempuan lebih banyak mengalami satu jenis kekerasan atau lebih sepanjang hidupnya, dibandingkan anak laki-laki.
Namun, jika melihat data simfoni-ppa selama 2019 - 2021, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak yang terlaporkan.
"Tren meningkatnya pelaporan kasus di tengah menurunnya prevalensi kekerasan, artinya masyarakat mulai berani untuk melapor. Semakin masifnya penggunaan media sosial, juga turut andil untuk mengungkap berbagai kasus kekerasan. Namun data-data tersebut sekaligus mengingatkan kita bahwa perjalanan kita juga masih panjang," ucapnya.
Dukung Permendikbudristek
Lebih lanjut terkait hal tersebut, Menteri PPPA mengungkapkan bahwa kekerasan nyatanya juga banyak terjadi di lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi. Data survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi pada 2020 menggambarkan, bahwa kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan bahkan 27 persen dari aduan terjadi di Universitas.
Oleh karena itu, Menteri PPPA pun memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Nadiem Makarim yang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
"Kami juga mengapresiasi perguruan tinggi, yang telah menerbitkan peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus seperti Universitas Gadjah Mada. Semoga hal itu, dapat menjadi dorongan semangat bagi kampus-kampus lainnya untuk segera menerbitkan peraturan serupa. Kami sangat berharap rekan-rekan mahasiswa juga dapat turut mengawal pelaksanaannya demi terciptanya lingkungan kampus yang aman, yang bebas dari tindak kekerasan seksual," ujarnya.
Dorong Percepatan RUU TPKS
Meskipun kekerasan banyak terjadi kepada perempuan, lanjut Menteri PPPA, namun hal tersebut bukanlah masalah perempuan saja. Jumlah perempuan sendiri sudah mencapai hampir setengah dari populasi Indonesia dan juga dunia.
Artinya, jika perempuan dapat memaksimalkan potensinya, maka bangsa dan dunia secara keseluruhan juga akan semakin sejahtera. Pencegahan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi pun, menjadi sangat penting karena mahasiswa merupakan kaum intelektual penerus bangsa.
"Untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, pemerintah telah memberikan berbagai upaya nyata, terkait dengan kebijakan salah satunya yang saat ini sedang kami fokuskan, adalah percepatan pengesahan rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU PKS," ujarnya.
Dalam waktu kurang dari dua minggu sejak diterimanya naskah akademis dan RUU PKS dari DPR, Pemerintah telah menyelesaikan dan menyerahkan kembali daftar inventarisasi masalah atau DIM kepada DPR untuk pembahasan lebih lanjut.
"Hal itu, dapat kami lakukan dengan cepat karena berbagai masukan dari kementerian, lembaga, pemerintah daerah, forum penyedia layanan, jaringan masyarakat sipil, akademisi, maupun para tokoh agama, adat dan masyarakat. Telah kami kumpulkan atau kami diskusikan sejak jauh hari, sejak 2020. Demikian juga di pertengahan 2021, telah dibentuk gugus tugas percepatan pengesahan RUU TPKS. saat ini kami sedang menunggu undangan pembahasan lebih lanjut dari DPR RI," pungkas Menteri PPPA. (*)