Pin It

Sehubungan dengan berita di berbagai media lokal di Sulawesi Selatan terkait pengisian JPT di Kota Makassar, dengan ini kami lakukan klarifikasi sebagai berikut:

  1. Kepala Daerah, menurut pasal 235 ayat (1) UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, memang diberi kewenangan mengangkat dan/atau melantik kepala Perangkat Daerah, berdasarkan hasil seleksi. Proses seleksi kepala Perangkat Daerah, menurut pasal 234 ayat (4) Undang-Undang tersebut, sesuai dengan proses seleksi bagi jabatan pimpinan tinggi pratama di instansi Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
  2. Proses seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di instansi daerah, menurut pasal 108 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), dilakukan secara terbuka dan kompetitif pada tingkat nasional atau antar kabupaten/kota dalam lingkup 1 (satu) provinsi.
  3. Seleksi pengisian JPT Pratama di instansi Daerah menurut pasal 105, dilakukan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Panitia seleksi kemudian mengajukan 3 (tiga) nama calon terbaik untuk masing-masing jabatan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian untuk dipilih salah satu diantaranya. Petunjuk pelaksanaan seleksi secara detail sudah diatur dalam PermenPANRB Nomor 13 tahun 2014.
  4. KASN, menurut pasal  32 ayat (1) UU ASN, diberi kewenangan mengawasi setiap tahapan proses seleksi terbuka tersebut, mulai dari pembentukan panitia seleksi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi. Dalam hal ada dugaan pelanggaraan, KASN juga diberi kewenangan melakukan klarifikasi, melakukan penyelidikan dan mengeluarkan rekomendasi. Selanjutnya Pasal 32 ayat (2) dari Undang-Undang tersebut mengatakan bahwa hasil pengawasan KASN disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat Yang Berwenang (PYB). Rekomendasi KASN bersifat final dan mengikat.
  5. Pasal 32 ayat (3) mengatakan bahwa hasil pengawasan terhadap pelaksanaan pengisian JPT disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk wajib ditindaklanjuti.
  6. Dalam hal hasil pengawasan tidak ditindaklanjuti, menurut pasal 33 ayat (1) UU ASN, KASN merekomendasikan kepada Presiden untuk menjatuhkan sanksi terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat Yang Berwenang yang melanggar prinsip Sistem Merit dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut pasal 33 ayat (2), sanksi yang dimaksud berupa: a. peringatan; b. teguran; c. perbaikan, pencabutan, pembatalan, penerbitan keputusan, dan/atau pengembalian pembayaran; d. hukuman disiplin untuk Pejabat Yang Berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan. sanksi untuk Pejabat Pembina Kepegawaian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
  7. Pemberian sanksi, menurut pasal 33 ayat (3) UU ASN, dilakukan oleh:
    1. Presiden selaku pemegang kekuasan tertinggi pembinaan ASN, terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; dan
    2. Menteri terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat Yang Berwenang, dan terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
  8.    Dalam kaitannya dengan pengisian JPT di Makassar:
    1. KASN berwenang melakukan pengawasan dan membuat rekomendasi, berdasarkan hasil penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
    2. Untuk menjaga obyektivitas, dalam proses penyelidikan, KASN tidak hanya meminta keterangan PNS yang dirugikan oleh kebijakan Walikota namun juga Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala BKD, assessor dari LAN Makassar dan juga anggota Pansel dari LAN Jakarta.
    3. KASN adalah lembaga independen dan dalam menjalankan tugasnya anggota KASN dan para pegawainya diikat dengan kode etik dan kode perilaku.
    4. Kehadiran salah satu Komisioner KASN di Peradilan Tata Usaha Negara Makassar bukan sebagai pembela, namun untuk tujuan memberi keterangan tentang proses seleksi JPT menurut Undang-Undang 5 Tahun 2014 kepada majelis hakim.
  9.    Mohon agar Walikota Makassar dan jajaran Pemkot Makassar tidak lagi menyampaikan berita yang tidak didasarkan fakta karena menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat membawa konsekuensi diberhentikannya Kepala Daerah dari jabatannya.
  10. Konsekuensi Bagi Kepala Daerah yang melanggar Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan menurut UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur sebagai berikut:

      Pasal 78  ayat (1) Kepala Daerah/WKDH berhenti karena:

  1. Meninggal dunia
  2. Permintaan sendiri
  3. Diberhentikan

      Pasal 78 ayat (2) KDH/WKDH dapat diberhentikan karena:

  1. Berakhir masa jabatannya
  2. Berhalangan tetap berturut-turut selama 6 bulan
  3. Melanggar sumpah janji
  4. Tidak melaksanakan kewajibannya

       Pasal 61 ayat (2) Sumpah Janji KDH

       Adalah menjalankan segala Undang-Undang dan Peraturannya dgn selurus-lurusnya

       Pasal 67 Kewajiban KDH/WKDH adalah:

  1. Memegang teguh Pancasila dan UUD 1945
  2. Menaati seluruh ketentuan Peraturan Perundang-undangan
  3. Mengembangkan kehidupan demokrasi
  4. Menjaga Etika dan Norma Pelaksanaan Urusan Pemerintahan
  5. Menerapkan Tata Pemerintahan Yang Baik
  6. Melaksanakan Program Strategis Nasional
  7. Menjalin Hub Kerja dgn Seluruh Instansi Vertikal di Daerah dan Perangkat Daerah

 Kesimpulan:

 Dari ketentuan Pasal-Pasal diatas, Kepala Daerah dapat diberhentikan karena melanggar sumpah  yaitu menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya dan melanggar janji yaitu menaati seluruh ketentuan perundang-undangan termasuk ketaatan terhadap UU 5/2014 tentang ASN.

Sumber : HUMAS KASN