JAKARTA – Isu tentang ketersediaan akses terhadap obat-obatan termasuk vaksin menjadi hal yang sedang dihadapi dunia, khususnya pada negara- negara berkembang. Menurut WHO 30% orang di dunia kekurangan akses terhadap obat-obatan yang bersifat life-saving atau penyelamat jiwa.
Beberapa faktor penyebabnya adalah masih sedikitnya jumlah pabrik obat dan vaksin, keterbatasan kapabilitas National Regulatory Authorities (NRA) dan pembiayaan dalam hal produksi obat dan vaksin. Kondisi ini juga terjadi di beberapa negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan disebabkan oleh keterbatasan kapasitas produksi dari industri farmasi yang ada di negara tersebut.
Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito menyampaikan bahwa hanya beberapa negara anggota OKI, seperti Indonesia, Iran, Senegal, Uzbekistan, Bangladesh, Tunisia dan Mesir, yang memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Sebagian besar negara anggota OKI masih mengandalkan impor dari luar negara OKI untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan dan vaksin di negaranya.
Menyadari hal ini, pada tanggal 14 November 2017 lalu Kepala BPOM RI melakukan pertemuan dengan Sekretaris Jendral OKI, H.E. Dr. Al-Othaimeen untuk membahas isu penting dan strategis tentang kemandirian dan keterjangkauan obat-obat termasuk vaksin di negara anggota OKI.
Dengan semangat untuk saling membantu, BPOM RI berinisiatif untuk menjadi tuan rumah pertemuan pertama para pimpinan Badan Pengawas Obat negara anggota OKI dan mengawal perumusan strategi terkait kemandirian dan ketersediaan produksi vaksin. Pertemuan ini menjadi penting karena merupakan pertemuan pertama dimana negara anggota OKI berdiskusi dan membangun komitmen yang konkrit terkait aspek kesehatan, kemitraan untuk bantuan teknis dan operasional dan potensi pengembangan hubungan perdagangan di bidang obat termasuk vaksin.
“Salah satu produsen obat di Indonesia, yaitu PT. Bio Farma, memiliki produk vaksin terbanyak yang mendapatkan prekualifikasi dari WHO sehingga diizinkan mensuplai vaksin ke sejumlah negara, termasuk ke 48 negara OKI. Pada Desember 2017, PT. Bio Farma ditunjuk sebagai Center of Excellence (CoE) bidang vaksin bagi negara-negara OKI,” ungkap Kepala BPOM RI. “Karena itu Indonesia, dalam hal ini BPOM RI, dinilai memiliki peran kepemimpinan yang penting (leading role) dalam mendorong kerja sama yang strategis di bidang obat khususnya untuk mendukung ketersediaan dan kemandirian (self-reliance) dalam memenuhi kebutuhan obat-obatan, termasuk vaksin, yang aman, bermutu, dan terjangkau di negara anggota OKI,”. lanjutnya.
Terkait hal tersebut, pada November 2018, negara anggota OKI akan melakukan pertemuan internasional di Jakarta untuk membahas tentang isu kemandirian ketersediaan obat dan vaksin. Pertemuan ini akan dihadiri oleh 57 anggota negara OKI, perwakilan WHO, dan negara pengamat lainnya. Sebagai salah satu rangkaian persiapan pelaksanaan pertemuan tersebut, hari ini Selasa (21/08) Kepala BPOM RI mengundang para Duta Besar negara anggota OKI untuk berdiskusi.
Dalam kesempatan ini, Kepala BPOM RI meminta kesediaan para Duta Besar untuk menyampaikan pentingnya pertemuan pada November 2018. “Kami harapkan Bapak dan Ibu Duta Besar dapat mendorong Kepala Badan Pengawas Obat di masing-masing negara dapat hadir dan berpartisipasi pada pertemuan nanti,” ujar Kepala BPOM RI. “Pertemuan pada November nanti diharapkan selain dapat meningkatkan kerja sama antara pihak berwenang yang bertanggung jawab atas mengawal obat-obatan, juga dapat meningkatkan perdagangan dan kerjasama ekonomi di bidang obat-obatan produk, termasuk vaksin. Karena itu, kehadiran perwakilan tiap negara anggota OKI menjadi sangat penting,” tutupnya. (PR)