Ruangan di RS Darurat Wisma Atlet.
Pemerintah menyiapkan beberapa fasilitas untuk menambah ruang isolasi rumah sakit, di antaranya yang sudah diperiksa/dicek kesiapannya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah Wisma Atlet yang bertujuannya untuk melaksanakan isolasi rumah sakit.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara (Jubir) Penanganan Wabah Virus Korona (Covid-19), Achmad Yurianto, saat memberikan keterangan pers di Grha BNPB, Senin (23/3).
“Sudah barang tentu kita hanya akan merawat kasus-kasus positif yang dibuktikan dari hasil pemeriksaan antigen. Ini yang kemudian perlu untuk kita masukkan ke rumah sakit dengan catatan bahwa memang tidak mungkin melaksanakan isolasi secara mandiri di rumah dengan berbagai pertimbangan aspek medis. Di sinilah kemudian terapi akan kita berikan secara medicamentosa, secara obat,” ujarnya.
Penyiapan Wisma Atlet sebagai rumah sakit darurat, menurut Yuri, sebenarnya bagian dari kebijakan pemerintah untuk menyiapkan karantina rumah sakit.
”Sudah barang tentu segala sesuatunya kita siapkan dengan maksimal sehingga kita bisa setidak-tidaknya menyiapkan 3 ribu tempat tidur untuk awal dan ini akan kita bangun sistemnya dengan secara lebih baik. Harapan kita bersama adalah bahwa ini pun menjadi langkah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah di dalam kaitan dengan penanganan Covid-19 ini,” kata Yuri.
APD dan Screening Massal
Pada kesempatan itu, Yuri juga menyampaikan bahwa pemerintah melengkapi segala kebutuhan terkait dengan layanan rawatan Covid-19.
Salah satu yang sekarang sedang menjadi isu, menurut Yuri, adalah bahwa kekurangan alat perlindungan diri (APD) yang saat ini sudah disiapkan 105 ribu APD dan akan segera didistribusikan.
”Kemudian di dalam tataran itu juga, telah disiapkan juga 125 ribu kit untuk rapid diagnostic test, alat pemeriksaan cepat, sebagai bagian dari screening untuk kita menemukan kasus positif di tengah masyarakat,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah sudah melaksanakan kegiatan screening massal, pemeriksaan dengan menggunakan metode rapid test yang ditujukan untuk secepatnya melaksanakan pencarian kasus positif di tengah masyarakat.
”Untuk saat ini ada 125 ribu kit pemeriksaan cepat yang akan kita bagikan ke seluruh Indonesia dan kita mulai bergerak di hari ini. Beberapa hari yang lalu sudah dilaksanakan kegiatan yang serupa dengan menggunakan metode yang sama. Kita mendapatkan beberapa hasil positif meskipun lebih banyak kita temukan yang hasilnya negatif dari pemeriksaan screening ini.” katanya.
Menyikapi hasil tes, Yuri menyampaikan bahwa perlu dipahami bersama hasil negatif tidak memberikan jaminan yang bersangkutan tidak sedang sakit karena sebagaimana diketahui pemeriksaan rapid test ini adalah berbasis pada serologi untuk mengukur kadar antibodi dari munculnya virus.
”Sudah barang tentu bahwa tidak setiap infeksi virus pada hari yang sama langsung muncul antibodi, dibutuhkan waktu beberapa hari sejak infeksi itu terjadi agar antibodi muncul dan bisa terdeteksi. Oleh karena itu, pada saat pemeriksaan memberikan hasil negatif bisa saja sebenarnya antibodi belum terbentuk karena infeksinya baru berlangsung kurang dari 7 hari,” imbuh Yuri.
Untuk itu, Yuri menyampaikan langkah yang harus dilakukan berikutnya adalah dilakukan pemeriksaan ulang setelah hari ke-7 sampai dengan hari ke-10 untuk diukur kembali antibodinya.
Manakala hasil pemeriksaan kedua ini masih tetap negatif, lanjur Yuri, baru bisa disiimpulkan bahwa saat ini sedang tidak terinfeksi, tetapi perlu diingat, bahwa yang bersangkutan belum punya kekebalan untuk tidak terinfeksi sehingga sikap hati-hati menjadi penting.
”Inilah yang kemudian dilandasi dengan kegiatan untuk membatasi diri, melaksanakan isolasi diri, termasuk mengatur jarak fisik dalam konteks berkomunikasi dengan siapa pun. Ini penting karena kita harus meyakini pemeriksaan rapid, pemeriksaan cara cepat yang pertama dan kemudian dinyatakan negatif tidak memberikan jaminan bahwa yang bersangkutan tidak dalam kondisi sakit,” tandas Yuri.
Tentunya, lanjut Yuri, seseorang akan mulai berpikir manakala pemeriksaannya positif, inilah yang kemudian akan ditindaklanjuti dengan menggunakan screening pemeriksaan tahap kedua yang disebut dengan pemeriksaan antigen, atau dikenal dengan PCR, pemeriksaan secara molekuler. Apabila pemeriksaan dengan cara ini positif, tambah Yuri, pasti dikatakan bahwa yang bersangkutan terinfeksi.
Soal pengobatan, Yuri menyampaikan bahwa penggunaan obat-obat yang didatangkan adalah dalam konteks untuk layanan rawatan bukan disiapkan untuk profilaksis.
”Klorokuin sudah lama kita kenal karena di masa yang lalu ini adalah program yang dilaksanakan untuk pemberantasan malaria, sehingga klorokuin ini secara mandiri mampu kita produksi sendiri dan jumlahnya cukup,” imbuhnya.
Namun, Ia memohon sekali lagi masyarakat untuk tidak kemudian berbondong-bondong untuk membeli, menyimpan, dan mengonsumsi sendiri tanpa adanya resep dari dokter.
”Klorokuin adalah obat keras, oleh karena itu penggunaannya sudah barang tentu harus atas resep dokter dan dalam pengawasan dokter untuk perawatan pasien di rumah sakit, tidak untuk diminum sendiri di rumah,” tutup Yuri. (UN/EN)