Salah satu sesi dalam Reatreat II ASEAN-US Summit yang dilaksanakan pada hari Selasa, 16 Februari 2016 di Sunnylands Historic Home adalah mengenai terorisme. Pada kesempatan ini, Presiden Joko Widodo diminta untuk menjadi pembicara pertama dalam diskusi tentang counter terorisme.
Pada pidato pembuka, Presiden Jokowi menyampaikan apresiasi atas simpati dan perhatian negara-negara anggota ASEAN dan AS terhadap teror di Jakarta, 14 Januari 2016 lalu. Presiden juga menyatakan kebanggaannya terhadap ketahanan dan kebaranian masyarakat Indonesia dalam menghadapi teror tersebut. “Saya juga bangga kepada aparat keamanan Indonesia”, lanjut Presiden. Dalam waktu relatif singkat, situasi sudah terkontrol dan Jakarta kembali normal. “Namun kita tetap waspada terhadap ancaman terror”, ujar Presiden menambahkan.
Pendekatan Hard Power dan Soft Power Menurut Presiden, ancaman bom di Jakarta mengingatkan pentingnya kerjasama dalam tiga hal, yakni mempromosikan toleransi, memberantas terorisme dan ekstrimisme, serta mengatasi akar masalah dan menciptakan suasana kondusif terhadap terorisme. Kombinasi penggunaan hard power dan soft power dibutuhkan dalam mengatasi ekstrimisme.
Terkait pendekatan hard power, Indonesia tengah mengkaji ulang Undang-Undang Terorisme. Ini dimaksudkan untuk penguatan payung hukum dalam menghadapi terorisme. “Penguatan legislasi ini, tentunya dilakukan dengan mempertimbangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia”, ucap Presiden.
Di waktu bersamaan, lanjut Presiden, pendekatan soft power juga diperkuat. Caranya dengan melakukan pendekatan agama dan kebudayaan, melibatkan masyarakat, melibatkan organisasi masyarakat dan keagamaan. Diversifikasi pendekatan deradikalisasi dan kontra radikalisasi juga dilakukan melalui program rehabilitasi narapidana teroris serta program penerimaan kembali (reintegrasi) di masyarakat.
Foreign Terrorist Fighters Mengenai Foreign Terorist Fighters (FTF), Presiden mengemukakan bahwa hampir semua negara menghadapi masalah yang sama, dimana ada warga negaranya yang bergabung dengan FTF. Jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang ada di Suriah sebanyak 329 orang. Ini jumlah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta.
Berdasarkan analisis media, faktor utama relatif kecilnya penduduk Indonesia yang bergabung FTF adalah karena Indonesia tidak memiliki pemerintah yang represif, tidak dalam pendudukan, serta kondisi politik yang relatif stabil. Dari analisis tersebut, kata Presiden, “Dapat ditarik pelajaran bahwa untuk memerangi terorisme dan mengurangi FTF diperlukan kestabilan politik, pemerintah yang demokratis, serta tidak dalam pendudukan asing”.
Sebagai penutup, Presiden menyampaikan gagasannya untuk memanfaatkan media sosial dalam menghadapi ekstrimis dan teroris. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa penyebaran paham ekstrimis dan ajakan bergabung dengan FTF banyak dilakukan melalui media sosial. “Oleh karena itu, kita harus bekerjasama dengan media sosial dalam menyebarkan perdamaian dan toleransi sebagai counter narasi”, kata Presiden.
Inilah yang menurut Presiden akan disampaikannya saat berkunjung ke Silicon Valley, yakni ‘Indonesia Digital Initiative: Empowering Leaders of Peace’. “Saya mengajak agar Yang Mulia berkenan bergabung dengan saya untuk memperbanyak narasi melalui media sosial mengenai moderasi, toleransi, dan perdamaian”, ajak Presiden Jokowi seraya menutup sambutan pembuka sesi pembahasan terorisme dalam KTT ASEAN-AS. (PR)