LOMBOK - Batas Usia Pensiun (BUP) jadi perdebatan antara peserta Rakor SDM Aparatur di Senggigi (24/4) dengan Asdep Penegakan Integritas, Endang Susilowati. Menurut peserta, PP Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perubahan Ke-4 PP Nomor 32 Tahun1979 tentang Pemberhentian PNS, khususnya terkait dengan kata “dapat diperpanjang” dari BUP 56 tahun untuk jabatan-jabatan tertentu, dinilainya justeru membingungkan para pejabat di daerah.
Kata “dapat diperpanjang” mungkin dimaksudkan untuk memberikan ruang kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) memperpanjang BUP PNS bagi pegawai, yang karena keahlian atau pengalamannya perlu diperpanjang BUP-nya. Tetapi bagi daerah, hal ini sangat rawan dipolitisasi oleh Gubernur/Bupati/Walikota yang umumnya datang dari politisi. Menurut peserta, mestinya PP itu limitatif dan tegas saja, karena pada dasarnya PNS dapat diberhentikan kapan saja dari jabatannya oleh PPK asal ada alasan sesuai perundang-undangan.
Menurut Endang, pada dasarnya tidak ada sesuatu yang baru dalam PP Nomor 19 Tahun 2013, karena yang diakomodasikan secara khusus dalam PP tersebut adalah para Wakil Menteri yang berasal dari kalangan PNS, yang ditetapkan 60 tahun, menyusul ditetapkannya Wakil Menteri sebagai Pejabat Politik oleh Mahkamah Konstitusi. “Tidak ada perubahan mengenai BUP 56 tahun,” ujarnya. Namun Endang berjanji, akan membawa masukan yang positif dari peserta rakor ke Jakarta untuk dapat dibicarakan dengan pejabat terkait.
Indikasi adanya politisasi dalam penetapan BUP ini diakui oleh sebagian besar Kepala BKD dari Prov/Kab/Kota se Bali, NTB, dan NTT. “Kami seringkali bingung dan tidak berdaya kalau sudah diperintahkan pimpinan dalam hal perpanjangan BUP, padahal yang bersangkutan tidak memenuhi syarat”, ujar salah seorang Kepala BKD yang enggan disebut identitasnya. (im/HUMAS MENPANRB).