Menteri PANRB Yuddy Chrisnandi berdialog dengan para Menteri PANRB terdahulu di Kantor Kementerian PANRB, Selasa (23/02).
JAKARTA – Delapan pendahulu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PANRB) Yuddy Chrisnandi mendukung akselerasi implementasi reformasi birokrasi. Dua agenda mendapat sorotan para mantan Menteri, antara lain perampingan birokrasi, serta pentanaan SDM aparatur.
Hal itu terungkap dalam acara silaturahmi para Menpan di Jakarta, Selasa (23/02). Tampak hadir JB Sumarlin, Menteri PAN periode 1973 – 1983, Sarwono Kusumaatmadja (1988 – 1993), Hartarto Sastrosunarto (1998 – 1999), Freddy Numberi (1999 – 2000), Anwar Suprijadi, (2001), Taufiq Effendi, (2004 – 2009), dan Azwar Abubakar (2011 – 2014). Hadir juga Emil Salim, (1971 - 1973), yang tiba belakangan.
Mengawali pembicaraannya, Yuddy mengatakan bahwa reformasi birokrasi merupakan salah satu prioritas penting Pemerintahan Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hal ini secara jelas tertuang dalam 9 agenda prioritas yang dikenal sebagai Nawacita, dan telah dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019.
Dalam RPJMN tersebut dijelaskan bahwa perbaikan tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi merupakan salah satu kondisi perlu (required condition) bagi pencapaian strategi pembangunan nasional 2015-2019. Yuddy menambahkan, Kementerian PANRB telah menetapkan 3 sasaran pembangunan nasional bidang aparatur negara. (1) birokrasi yang bersih dan akuntabel, (2) Birokrasi yang yang efektif dan efisien; dan (3) Birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas.
Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan World Class Government pada tahun 2025 sebagaimana yang ditetapkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2015. Selain itu, adanya fakta bahwa saat ini kompetisi antar negara semakin terbuka, dan merupakan suatu keniscayaan. Terlebih, tahun ini telah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Namun Yuddy mengaku prihatin, karena rencana yang baik itu, belakangan sering terganggu dengan isu-isu pengangkatan tenaga honorer kategori 2. Pasalnya, di satu sisi ada keinginan untuk menyelesaikan masalah tersebut, tetapi di pihak lain tidak dimungkinkan oleh ketentuan Undang-Undang No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Selain itu, belanja pegawai saat ini sudah sangat besar, sehingga sulit negara sulit mengalokasikan anggaran untuk pengangkatan tenaga honorer K2.
Tak urung, isu pengangkatan honorer K2 itu pun akhirnya mendominasi pembicaraan dalam acara kangen-kangenan itu. Para senior ini secara umum mendukung kebijakan Menteri Yuddy dalam percepatan reformasi birokrasi, serta penanganan tenaga honorer kategori 2.
Freddy Numberi misalnya, mengatakan agar pemerintah pusat tegas. Sebab selama ini, kecenderungan pengangkatan tenaga honorer dilakukan oleh pemerintah daerah. “Namun kemudian masalah tenaga honorer dibebankan ke pemerintah pusat,” ujarnya.
Berdasarkan pengamatannya, banyak kepala daerah mengangkat tenaga honorer yang merupakan anggota keluarga atau anggota tim suksesnya pada saat kampanye pilkada. "Ini juga harus dibuka ke DPR, agar anggota DPR tahu rekruitmen yang dilakukan pemerintah daerah membuat kesulitan karena tidak mengikuti pola pemerintah pusat,” ujarnya.
Putra Papua ini juga menyarankan agar pemerintah membuka ruang bagi pemeraintah daerah utuk pengangkatan tenaga guru dan dokter sebagai pegawai kontrak,yang dibiayai dari APBD masing-masing daerah.
Hal senada diungkapkan Azwar Abubakar, yang semasa menjabat sebagai Menteri PANRB banyak berhubungan dengan urusan tenaga honorer, baik kategori 1 maupun kategori 2. Baginya, keberadaan honorer K2 itu sudah selesai setelah dilakukannya tes pada tahun 2013 silam.
Menurut Azwar, sesuai kesepakatan dengan Komisi II DPR, pemerintah hanya akan mengangkat sekitar 30 persen dari sekitar 600 ribu peserta tes, dan harus lulus tes. Kesepakatan itu, menurut Azwar, juga sudah dipahami oleh tenaga honorer kategori dua, khususnya para pegurus Forum Honorer Kategori 2.
Azwar juga sependapat dengan Freddy yang mengatakan agar pemerintah pusat tidak harus menerima tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, yang telah melakukan rekruitmen terhadap tenaga honorer. “Honorer ini kan kesalahan dari pejabat daerah, yang dilimpahkan ke pusat,” ujarnya berseloroh.
Sementara Taufiq Effendi menilai, salah satu persoalan yang dihadapi Kementerian PANRB karena Kementerian ini tidak memiliki orang di daerah. Meskipun punya kebijakan, tetapi dipastikan bahwa seluruh pegawai di daerah hanya akan melaksanakan perintah kepala daerahnya.
Menurutnya, hal itu juga menimpa kasus pengangkatan tenaga honorer. Meskipun dalam PP No. 48/2005 pemerintah sudah melarang kepala daerah mengangkat pegawai honorer, tapi mereka tetap melakukannya. “Kita harus punya orang di daerah, tetapi bukan pegawai daerah,” tuturnya.
Dua menteri terdahulu, yakni JB Sumarlin dan Hartarto cukup terperanjat dengan berkembangnya isu pegawai honorer. Sebab ketika keduanya menjadi Menteri PAN, hal tersebut belum mengemuka, dan tidak menjadi isu seperti belakangan ini, dan tidak sedikit yang telah menyeretnya ke ranah politik.
Sumarlin dan Hartarto menambahkan, perlu dicari tahu bagaimana asal-usul munculnya pegawai honorer di daerah itu sendiri. “Kalau memang pemerintah sudah melakukan hal yang benar, dan sesuai dengan peraturan perundangan, menurutnya, pemerintah tidak selalu harus mengikuti kehendak DPR,” tutur Hartarto.
Akan halnya dengan Anwar Supriyadi, yang mengaku menjadi Menteri PAN sebagai sebuah ‘kecelakaan’. Dia mengatakan, sebenarnya pengangkatan tenaga honorer oleh kepala daerah itu sendiri merupakan pelanggaran. “Masalahnya, apakah sudah pernah dilakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran itu,” ujarnya.
Menurut mantan Dirjen Bea Cukai ini, pemerintah perlu mengambil tindakan hukum terhadap pelanggaran ini, sehingga para kepala daerah bisa memahami bahwa tindakan mengangkat tenaga honorer itu salah. Kalau hal ini terus berlangsung, menurutnya akan melemahkan wibawa pemerintah, dan tujuan reformasi birokrasi sulit dicapai.
Dalam hal ini, Anwar mendorong perlunya leadership yang kuat, sehingga akan diikuti oleh jajarannya. Dia juga menilai bahwa diklatpim selama ini harus diperbaiki, agar lahir pemimpin pemerintahan di daerah yang kuat.
Dalam pertemuan yang berlangsung sangat akrab itu, Yuddy didampingi oleh seluruh pejabat eselon I. Yuddy sempat menjelaskan kepada pendahulunya, bahwa ia tidak mengganti pejabat eselon I yang diangkat di era Azwar Abubakar. “Tidak ada yang saya ganti pak,” ujarnya.
Pangkas jumlah kementerian
Dalam kesempatan itu, Freddy Numberi menyarankan agar pemerintah harus terus mendorong perampingan jumlah pegawai dan instansi pemerintah. Kebutuhan jumlah pegawai harus dihitung sungguh-sungguh disesuaikan dengan kebutuhan beban kerja agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Ke depan, perampingan perlu. Kalau tidak beban APBN cukup berat untuk membiayai gaji pegawai," kata Freddy
Freddy menyebut bahwa di negara-negara maju, postur pegawai pemerintahan lebih ramping, dan hanya memiliki sekitar 15 sampai 18 kementerian. Karena itu, ketika menjabat sebagai Menpan RB di era Presiden Abdurachman Wahid dia pernah mengusulkan jumlah kementerian hanya 15. Karena itu ia menyarankan agar Yuddy juga mulai memikirkan perampingan jumlah kementerian. "Kalau tidak 15 mungkin, 18 kementerian saja," katanya.
Menanggapi hal itu Menteri Yuddy mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan evaluasi terhadap 25 lembaga non struktural yang dibentuk berdasarkan keppres atau perpres. Berdasarkan evaluasi Kemenpan merekomendasikan sebanyak 14 Lembaga dikaji lagi keberadaannya karena fungsi yang tumpang tindih dengan lembaga lain. "Tapi keputusan akhir kami serahkan ke tangan presiden," katanya.
Sementara itu, Emil Salim mengatakan, pasca bergulirnya otonomi daerah, pembangunan di daerah bukan fokus pada pertumbuhan ekonomi tetapi bagaimana kepala daerah bisa terpilih kembali. Hal itu terjadi antara lain karena adanya dominasi finansial dalam pemilu kepala daerah. “Karena itu Emil menekankan agar pemerintah daerah harus sinkron dengan pusat,” ujarnya. (ags/HUMAS MENPANRB)