JAKARTA – Salah satu isu yang menjadi perhatian banyak pihak dari Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan (AP) yang telah disahkan DPR tanggal 26 September 2014, adalah diskresi yang selama ini belum diatur dalam peraturan perundangan. Hal itu membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah.
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Eko Prasojo mengatakan, dalam praktek di lingkungan pejabat pemerintah, pemahaman diskresi sebagai kewenangan bebas (fries ermessen). “Kewenangan bebas itu juga dipahami menurut pendapat sendiri (subyektif),” ujarnya dalam percakapan dengan wartawan di kantornya, Selasa (07/10).
Dikatakan, diksresi pada dasarnya dipahami sebagai pertimbangan dan dibuat atas dasar amanat undang-undang dalam bentuk kata ‘dapat’, atau ‘boleh’. Pejabat Pemerintah, lanjutnya, dalam membuat keputusan diskresi berpedoman pada petunjuk teknis atas peraturan pelaksanaan terkait dengan pasal dalam peraturan perundangan.
Lahirnya Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan akan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan. “Diskresi tidak didasarkan pada kebebasan bertindak. Diskresi wajib didasarkan pada hukum, iktikad baik dan ditetapkan oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan dan atau tindakan pemerintah,” tegas Wamen.
Sebagai contoh digambarkan, seorang polisi lalu lintas dapat melakukan melakukan diskresi dalam pengaturan lalu lintas di perempatan yang sudah ada traffic light. Dia bisa menahan kendaraan untuk tidak berjalan, meski lampu hijau sudah menyala. Polisi lalu lintas juga bisa memerintahkan kendaraan untuk berjalan, meski saat itu lampu merah menyala. “Tapi semua itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan untuk kepentingan umum, bukan semaunya sendiri,” imbuhnya.
Diungkapkan, urgensi terkait UU Adpem tak lepas dari ketimpangan hukum materiil, kekosongan hukum, termasuk hukum yang mengatur sumber kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Sejak tahun 1986 Indonesia telah memiliki UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai hukum formal. UU ini kemudian disempurnakan tahun 2004 dan 2009. Di sini ada ketimpangan hukum, karena putusan hakim tidak didasarkan pada hukum materiil yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang. “Dengan UU Administrasi Pemerintahan, kelak penyelesaian gugatan lebih mendahulukan hukum administrasi, sebelum dibawa ke ranah pidana,” imbuh Guru Besar UI ini.
Bukan itu saja, kehadiran UU Administrasi Pemerintahan juga mengisi kekosongan hukum. UU ini menjadi instrumen standardisasi administrasi negara, dan kodifikasi (pengaturan) undang-undang tunggal sebagai payung yang memberi pedoman di semua sektor pemerintahan. Lebih dari itu, UU ini mengatur syarat sahnya keputusan pemerintahan. Selain dibuat oleh pejabat yang berwenang, keputusan pemerintahan juga harus sesuai standar prosedur, dan substansi juga harus sesuai dengan obyek keputusan.
Terhadap keputusan yang tidak sesuai, menurut UU AP dinyatakan tidak sah, atau batal, dapat dibatalkan/diubah. “UU Administrasi Pemerintahan mengatur syarat-syarat sahnya keputusan pemerintahan,” sambung Eko Prasojo. (ags/HUMAS MENPANRB)