JAKARTA - Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) merupakan sarana yang penting untuk mewujudkan integritas para pejabat serta birokrat pada umumnya. Karena itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad sependapat, bahwa pegawai negeri sipil (PNS) sampai ke pejabat eselon IV wajib melaporkan harta kekayaannya.
"Kalau perlu bukan hanya para menteri dan pejabat eselon I, tapi sampai eselon IV," kata Samad usai acara penandatanganan pernyataan komitmen pencegahan gratifikasi di lingkungan Kementerian PANRB di Jakarta, Jumat (14/11).
KPK, lanjut Abraham, akan mendorong dibentuknya unit pengelola gratifikasi di tiap kementerian dan lembaga negara. Saat ini sudah ada 10 kementerian yang diberi pemahaman soal pengendalian gratifikasi.
Menteri Yuddy mengatakan, sependapat dengan Ketua KPK agar jajarannya juga wajib melaporkan harta kekayaannya. Namun, dia minta kepada KPK agar pelaporannya tak perlu sama dan serumit LHKPN menteri.
Yuddy juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi KPK untuk mengawasi kementeriannya dari berbagai praktek korupsi atau suap, dan siap bekerja sama memerangi korupsi. "Kami terbuka untuk diawasi," ujarnya menambahkan.
Dalam kesempatan itu, Ketua KPK mengimbau Kementerian PANRB untuk menerapkan code of conduct (kode etik) bagi PNS secara baik, terlebih di lingkungan Kementerian PANRB yang dinilainya bisa menjadi contoh bagi instansi lain.
Apa yang disampaikan Samad rasanya tidak berlebihan, karena pihaknya sudah menerapkannya dengan sungguh-sungguh. Kode etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib dipatuhi oleh seluruh pegawai, termasuk Ketua KPK.
Dia mencontohkan, KPK menjatuhkan sanksi kepada salah satu pegawainya yang ketahuan selingkuh. Menurut Samad, kalau kasus itu terjadi di instansi lain atau kementerian, rasanya tidak akan sampai pada pemecatan, karena perselingkuhan itu dilakukan dengan perempuan lajang. “Tapi kode etik di KPK mengharuskan pegawai itu dipecat,” tuturnya.
Bukan hanya bagi pegawai, kode etik juga berlaku bagi Ketua KPK. Abaraham pun mengisahkan, ketika dia melakukan perjalanan dinas, yang kadang terjadi di hari Sabtu atau Minggu. Saat ke Bali, tuturnya, pernah Abraham mengajak sang isteri untuk ikut serta.
Dia menyadari, bahwa semua perjalanan dinas dibiayai dengan anggaran negara negara. Tetapi biaya itu hanya untuk Ketua KPK, tidak untuk istri atau anggota keluarga lainnya. Abraham pun membiayai sendiri tiket perjalan dan kamar hotel istrinya.
Meskipun menginap di hotel yang sama, tetapi Abraham menyadari, kalau sang isteri ikut tidur di kamar Abraham adalah suatu pelanggaran kode etik. Karena itu, Sang Ketua KPK membuka satu kamar lagi yang dibayar dengan kocek sendiri, agar keduanya bisa tidur dalam satu kamar. Alhasil, kamar yang sudah dibayar dengan uang negara itu pun dikosongkan. “Kalau saya melanggar, sanksinya bisa dipecat,” imbuhnya.
Dua cerita itu hanya sepenggal dari berbagai kisah penerapan kode etik di lingkungan KPK, untuk mewujudkan integritas. Masih banyak cerita lain yang sering terjadi, dan menjadi pembeda antara orang KPK dan bukan. Misalnya, pejabat KPK yang menghadiri sebuah acara di suatu daerah, selalu menolak untuk dijemput oleh petugas dari pemda setempat. Bahkan ketika ditanya tempat menginap sekalipun, biasanya dia tidak mau menyebutkan.
Pertanyaannya, apakah birokrasi juga siap menerapkan kode etik seperti yang dilakukan oleh KPK ? Sebab kebiasaan selama ini, kalau pejabat pusat datang ke daerah selalu disiapkan jemputan beserta jamuannya. (ags/HUMAS MENPANRB)