JAKARTA – KPI telah melakukan peneguran kepada beberapa stasiun televisi yang menayangkan siaran kampanye terselubung. “Penayangan iklan politik di televisi harus segera dihentikan sampai masa kampanye terbuka pada 15 Maret 2014,” ujar Ketua KPI Pusat Judhariksawan dalam rapat koordinasi yang tentang peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam penyiaran, terutama pengawasan siaran yang berbau politis di Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Kemananan (Polhukkam), Jakarta, Selasa (25/2)
Menurut Judhariksawan, hal ini bertentangan dengan UU Penyiaran, karena terkait dengan owner dari media massa yang menjadikan medianya sebagai sarana untuk berkampanye.
Dikatakan, dalam UU tersebut tertera peraturan mengenai Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) yang memberikan jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Judhariksawan menyatakan bahwa KPI hanya sebagai berperan sebagai regulator siaran sebagaimana yang tertera dalam UU No.32/2002 tentang penyiaran. Pengaturan sistem penyiaran di Indonesia itu akan dikelola secara partisipatif, transparan, akuntabel sehingga menjamin independensi KPI.
Perubahan paling mendasar dalam UU ini adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah, kepada badan pengatur independen (independent regulatory body) yang bernama KPI. “Independensi yang dimaksudkan adalah untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan,” tambahnya.
Belajar dari masa orde baru, pengelolaan sistem penyiaran masih berada di tangan pemerintah. Sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari peran negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha. (rga/HUMAS MENPANRB)