Pin It

20210922 Indonesia Harus Meningkatkan Kewaspadaan Untuk Mencegah Lonjakan Ketiga

 

JAKARTA - Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengingatkan pentingnya belajar dari pengalaman, untuk mencegah terjadinya lonjakan ketiga (third wave) di Indonesia. Indonesia saat ini telah mengalami 2 kali lonjakan yang terjadi pada Januari dan Juli 2021.

Menurut Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito, saat ini dunia tengah mengalami lonjakan ketiga. Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mempelajari pola kenaikan kasus Indonesia yang lebih lambat dari kenaikan kasus dunia.

"Pada pola second wave dimana terdapat jeda 3 bulan, perlu kita antisipasi mengingat dalam 3 bulan kedepan ini kita akan memasuki periode libur natal dan tahun baru 2022," Wiku dalam Keterangan Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Selasa (21/9/2021) yang juga disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Hal ini berarti bahwa ada potensi kenaikan kasus semakin meningkat. Tentunya dengan pembelajaran lonjakan pertama dan kedua yang telah berhasil dilewati. Di Indonesia, terjadinya lonjakan lebih disebabkan faktor internal dan bukan karena naiknya kasus global ataupun datang dari negara-negara lain. 

Beberapa faktor internal penyebab kenaikan kasus dan penyebaran virus adalah meningkatnya mobilitas dalam negeri, dan aktifitas sosial masyarakat yang terjadi bersamaan dengan periode mudik Idul Fitri dan sikap abai masyarakat terhadap protokol kesehatan. 

Lebih jelasnya, lonjakan pertama di Indonesia terjadi pada Januari 2021 yang merupakan dampak libur Natal dan Tahun Baru 2021 yang bersamaan lonjakan pertama dunia. Namun, untuk lonjakan kedua (second wave), dunia mengalaminya lebih cepat yaitu pada April 2021. 

Sementara, Indonesia sedang di titik terendah kasus mingguan. Sebaliknya saat Indonesia kasusnya meningkat, dunia kasusnya menurun dan meningkat lagi hingga mencapai lonjakan ketiga. Dari perbandingan pola lonjakan, dapat diambil pelajaran bahwa lonjakan Indonesia pada Juli lalu, nyatanya tidak berkontribusi signifikan terhadap kasus dunia.

Mengingat pada waktu yang sama, dunia sedang mengalami penurunan, pun sebaliknya lonjakan kasus di tingkat global dan beberapa negara tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan kasus di Indonesia. Terbukti dari kasus COVID-19 yang melandai di saat negara lain melonjak. 

"Hal ini dapat terjadi melalui upaya ketat dalam penjagaan batas negara. Sehingga importasi kasus dari negara-negara yang sedang mengalami lonjakan dapat ditekan seminimal mungkin," lanjut Wiku.

Untuk itu, Indonesia harus semakin tangguh dalam menghadapi COVID-19. Perlu dipahami bahwa mobilitas penduduk dan masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan, menjadi penyumbang terbesar terjadinya lonkana kasus. 

Apapun varian mutasi virus yang ada. Tantangan terbesar yang harus dihadapi bersama adalah bagaimana mempertahankan kondisi yang ideal ini hingga Indonesia dan dunia terbebas dari pandemi dan memasuki endemi COVID-19. 

Untuk itu, upaya terbaik adalah dengan melanggengkan tren penurunan kasus selama mungkin dengan masyarakat yang tetap mematuhi protokol kesehatan. Sedikitpun tidak lengah meski kasus menurun drastis. Penting untuk diingat, lonjakan kasus dapat terjadi ketika masyarakat mulai lengah dan menganggap kondisi mulai aman. Sehingga disitulah peluang virus COVID-19 menyebar dengan cepat.

"Seperti yang kita alami bersama, lonjakan kasus kedua pada Juli lalu telah memberi banyak pelajaran. Salah satunya, adalah penanganan COVID-19 saat lonjakan tentunya lebih mahal, lebih lama dan lebih memakan korban," pungkas Wiku.

 

Tim Komunikasi Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional

[ISTA/ACU/VJY]