Oleh: Suwardi (Pranata Humas Madya Kementerian PANRB)
Dengan sejumlah temuan dan karya inovatifnya, Hunggul Yudono menunjukkan pengabdian dan keberpihakan kepada masyarakat yang tersisih.
Orang-orang yang terkucil di tepi hutan, tak tersentuh pembangunan infrastruktur, tapi dilarang menebang pohon atau membakar lahan, memang punya pilihan yang sempit. Di zaman kini ketika penggundulan hutan menjadi "musuh bersama," mereka terasingkan dari hutan yang menaunginya selama ini. Hutan begitu dekat, tapi juga begitu tak tersentuh.
Di pinggir hutan-hutan Pulau Seram misalnya, sebagian penduduk terpaksa masuk hutan, menangkap burung langka yang dilindungi, kemudian menjualnya kepada para penadah. Masing-masing daerah terpencil punya cerita bagaimana mereka bertahan hidup dengan pilihan yang sangat terbatas ini.
Nah, kepada orang-orang yang terasingkan dan tak beruntung ini, terdapat kisah seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang mencoba memahami lebih jauh kesulitan-kesulitan masyarakat dan menawarkan keajaiban yang menakjubkan. Hunggul Yudono Setiohadi Nugroho, yang tercatat sebagai pegawai Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, pada 1993, menawarkan listrik, dan akibatnya luar biasa.
Teknologi Mikrohidro
Mengandalkan teknologi sederhana pembangkit listrik mikrohidro, Hunggul tidak saja membuat malam-malam di lingkungan mereka menjadi terang benderang, tapi juga membuat mereka turut bertanggungjawab untuk memelihara lingkungan hutan. Dunia mereka berubah. Ada manfaat yang bisa mereka petik dari lingkungannya. Ya, semakin terawat deras air yang menerbitkan terang listrik di lingkungan mereka, semakin bagus kualitas penerangan. Selain itu, mereka juga mulai mengembangkan usaha kecil yang dasarnya menggunakan tenaga listrik.
Pengembangan lebih lanjutnya pembangunan mikrohidro tidak hanya untuk penerangan listrik semata, melainkan juga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa di sekitar kawasan hutan melalui pengembangan PUE (Productive Use of Energy). Hal ini sangat dimungkinkan karena Pembangkit Listrik Mikro Hidro, sangat murah. Seperti dituturkan oleh salah satu tokoh masyarakat dari Bulukumba sebagai pemanfaat listrik mikro hidro, setiap bulan ia hanya bayar Rp 10.000,- Dan itu pun untuk pemeliharaan alat alat yang rusak seperti kabel putus.
Dengan dukungan penuh dari pemerintah, pada pertengahan 2004 dimulailah kegiatan rekayasa alat mikrohidro sekaligus aplikasinya di masyarakat dengan uji coba pertamanya di Tana Toraja. Sukses membangun di Tana Toraja, Hunggul dan timnya terus menggali potensi kawasan hutan untuk dikembangkan pembangunan listrik mikrohidro, dan mendapat sambutan hangat dari berbagai daerah, khususnya di kawasan Sulawesi Selatan.
Sampai 2018 ini, Hunggul dan tim sudah membangun pembangkit mikrohidro di 20 lokasi di seluruh Indonesia, atas biaya pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di samping yang murni swadaya murni masyarakat. Pembangun unit mikro hidro di berbagai wilayah baik melalui kegiatan penelitian maupun kerjasama dengan instansi lain, antara lain: sembilan unit di Sulawesi Selatan, lima unit di Sulawesi Tengah, tiga unit di Sulawesi Tenggara, tiga unit di Sulawesi Utara dan satu unit di Kalimantan Barat, satu unit di Gorontalo, dua unit di Sumba Timur, dan satu unit di Maluku.
Tak Ambil Royalti
Aneh sekali, melihat keberhasilan pembangkit mikrohidro menyulap peri kehidupan masyarakat di pinggir hutan, bukannya memetik keuntungan dari perkembangan ini, ayah tiga orang anak ini justru semakin getol memperkenalkan karyanya secara cuma-cuma. Di antara waktunya yang sempit, demi alih teknologi, Hunggul bahkan sempat menulis dua buku praktis tentang pembangkit mkrohidro, dalam bahasa sederhana yang dipahami orang banyak.
Selain itu, Hunggul juga sudah menyosialisasikan cara pembuatan mikrohidro di Facebook. Hunggul sengaja tidak mematenkan temuannya, supaya karyanya boleh ditiru sebanyak mungkin orang. Hunggul memang berbeda dengan banyak peneliti atau ilmuan yang menjadi kaya raya dari royalti.
"Masyarakat yang jauh dari listrik, tidak punya kemampuan ekonomi. Di Maluku misalnya, ada satu lokasi temnpat pembanguan mikro hidro yang kami tempuh selama 5 hari berjalan kaki. Banyak juga daerah lain yang harus ditempuh selama 2-3 hari. Jadi, kalau bukan kita yang menolong mereka, mereka tidak akan terbantu," kata Hunggul dalam satu kesempatan. Tidak bisa tidak, di dunia yang semakin materialistis dan individualistis, Hunggul adalah sosok yang acap kali membuat kita terdongak.
Di sebuah rumah dinas yang bersahaja di Komplek Litbang Kehutanan Bulurokeng, Makassar, Hunggul Yudono Setiohadi Nugroho kini tinggal bersama istri dan anak-anaknya sambil menyusun disertasi program S-3 di Faculty of Geo-information, Science and Earth Observation, Twente University, The Netherlands dengan tesis berjudul: “Engaging with Adat People in Sustainable Forest Management”.
Terus Belajar dan Menghasilkan Temuan
Menyelesaikan S-2 pada tahun 2000, Hunggul kembali melaksanakan tugas di BTP DAS Ujung Pandang sebagai peneliti bidang Pengelolaan DAS dengan kekhususan Hidrologi dan Konservasi Tanah. Walaupun nama instansinya berubah-ubah seiring dengan reorganisasi di Kementerian Kehutanan, sampai saat ini tetap bekerja sebagai peneliti dengan jabatan terakhir sebagai Peneliti Madya bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah pada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Makassar.
Hunggul memang telah berjalan jauh dan melahirkan banyak inovasi di sepanjang perjalanan karirnya. Termasuk penakar hujan Athus (Alat Takar Hujan Sederhana) untuk membangun sistem peringatan dini banjir dan longsor maupun upaya pengendalian dampak kekeringan. Sekedar gambaran, Athus dipasang di sekolah-sekolah SD yang tersebar di pelosok-pelosok desa. Pencatatan data hujan dilaksanakan oleh murid dari kelas IV SD keatas secara bergiliran untuk memperkenalkan IPTEK sedini mungkin kepada masyarakat di hulu DAS dan peningkatan sadar bencana pada masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana maupun di daerah yang potensial menjadi kontributor terjadinya bencana. Athus dan konsep pemanfaatannya mendapatkan penghargaan dari Kementerian Riset dan teknologi pada tahun 2010 sebagai salah satu dari ”102 Inovasi Paling Prospektif di Indonesia Tahun 2010”.
Hunggul juga telah menciptakan Kombi (Kompor Biomassa) yang sangat ekonomis karena mengkombinasikan pembangkit mikro hidro dan biomas sebagai penggerak operasionalnya, dan alat penghancur sampah.
Hunggul juga menciptakan alat untuk penghancur sambah untuk membuat pupuk kompos. Dengan pencincang, proses dekompisisi yang biasa makan waktu 3-4 bulan, dapat dipotong pendek menjadi dua minggu. Dari daftar inovasi ini, tampak jelas bahwa semua alat yang diciptakannya berguna untuk orang banyak, terutama untuk masyarakat tidak mampu. Tanpa harus menggembar-gemborkan pandangannya tentang moral dan nilai hidup, dia telah menunjukkan pengabdian dan keberpihakan kepada masyarakat yang tersisih. (*)
Nama : Ir. Hunggul Yudono SHN, M.Si
Tempat, Tanggal Lahir : Yogyakarta, 7 November 1967
Pendidikan : S-1 Sarjana (Ir) Konservasi Sumberdaya Hutan, Institut Pertanian Bogor;
S-2 Pengelolaan DAS, Institut Pertanian Bogor;
S-3 Faculty of Geo-information, Science and Earth Observation, Twente University, The Netherlands (Proses Disertasi).
Pekerjaan/Jabatan : Peneliti Madya bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah pada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Makassar, Sulawesi Selatan