JAKARTA – Kementerian PANRB mendorong Kementerian Dalam Negeri bersikap tegas dalam menyikapi kasus mutasi besar-besaran yang dilakukan oleh Plt. Bupati Kolaka, Provinsi Kendari, yang sarat dengan pelanggaran. Plt. Bupati juga tidak boleh melakukan mutasi pegawai dengan non job, menurunkan eselon. Mutasi hanya boleh dilakukan untuk mengisi jabatan yang lowong.
Kalau hal itu benar dilakukan oleh Plt. Bupati Kolaka, hal itu tidak sah dan batal demi hukum. “Kami mendorong Kementerian Dalam Negeri menurunkan tim untuk melakukan investigasi ke lapangan,” ujar Sekretaris Kementerian PANRB Tasdik Kinanto kepada wartawan di kantornya, Jumat (07/06).
Hal itu dikatakan menyusul terjadinya mutasi besar-besaran yang dilakukan Plt. Bupati Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Tak urung, sejumlah korban mutasi, terutama yang non job ramai-ramai mengadu ke Kemendagri dan Kementerian PANRB. Mereka menilai mutasi tersebut tidak mendapat ijin dari Mendagri, dan menabrak sejumlah aturan, sehingga harus dibatalkan.
Hingga akhir Mei 2013, sebanyak 102 pejabat structural telah non job, terdiri dari 15 orang eselon II.b, 39 pejabat eselon III.a, 30 pejabat eselon III.b, dan 18 pejabat eselon IV.a. padahal, Mendagri hanya mengijinkan mutasi bagi 12 pejabat structural, dan tidak boleh non job.
Gelombang mutasi itu berlangsung tidak lama setelah penetapan Wakil Bupati Kolaka menjadi Plt. Bupati. Tanggal 29 April, sebanyak 8 pejabat eselon II.b dimutasi, 3 diantaranya dengan status non job, disusul mutasi 4 pejabat eselon III.a., 1 diantaranya non job.
Sebulan kemudian, Plt. Bupati Kolaka kembali memutasikan 37 pejabat structural eselon II.b, 15 orang diantaranya non job. Hal itu disusul dengan mutasi 92 pejabat eselon III.a, 39 orang diantaranya non job, 90 pejabat eselon III.b, 30 orang diantaranya non job, serta mutasi 115 pejabat eselon IV, 18 diantaranya non job.
Pada gelombang I mutasi tersebut, menurut H. Ruhaedin Djamaluddin, Kepala BKD Kabupaten Kolaka yang juga dimutasi dengan status non job, jumlahnya masih sesuai dengan Surat Mendagri.
Namun Surat No. 820/2038/SJ tanggal 24 April yang ditandatangani oleh Sekjen Kemendagri atas nama Mendagri itu, menyatakan tidak boleh memberhentikan pejabat structural (non job). Selain itu, tidak boleh melakukan penurunan eselon (demosi), dan tidak boleh memindahkan pejabat structural menjadi pejabat fungsional. Kalau ternyata pelaksanaan mutasi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka persetujuan Menteri Dalam Negeri akan dibatalkan, dan segala kebijakan Kepala Daerah terkait persetujuan Mendagri tersebut tidak sah.
Ruhaedin menambahkan, mutasi tersebut sarat dengan berbagai pelanggaran. Antara lain tidak ada persetujuan dari Mendagri, tidak ada melalui proses Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Untuk jabatan eselon II.b, tidak ada usulan dari Bupati (plt) kepada Gubernur Sultra.
Pelanggaran lain, disinyalir ada pemalsuan jabatan lama, pengalihan dari jabatan fungsional tertentu (guru dan tenaga kesehatan) ke jabatan structural. Pengisian jabatan juga tidak memenuhi syarat kepangkatan, statusnya tidak jelas. Ada pengisian jabatan oleh PNS yang sakit dan tidak pernah melaksanakan tugas, bahkan ada PNS yang sudah menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi.
Bukan itu saja, mutasi itu juga dinilai menelantarkan pejabat yang diberhentikan dari jabatan structural (non job) ke Kabupaten Kolaka Timur yang merupakan Daerah Otonomi Baru dan belum memiliki struktur organisasi pemerintahan. “Kami minta Mendagri membatalkan kebijakan mutasi tersebut, dan mengembalikan pejabat yang terkena dampak kebijakan ke posisi semula,” ujar Ruhaedin.
Sebelumnya, Komisi I DPRD Kabupaten Kolaka juga sudah melakukan rapat dengar pendapat dengan tim Baperjakat Kabupaten Kolaka, serta PNS yang dimutasi. Dalam hal ini, DPRD mendesak Baperjakat untuk membatalkan mutasi tersebut, karena dinilai cacat dan tidak sesuai surat edaran Mendagri. Komisi I DPRD juga akan melakukan konsultasi ke Kemendagri.
Menurut Ruhaedin, Plt. Bupati merupakan Bakal Calon Bupati Kolaka yang akan bertarung dalam Pilkada pada bulan Oktober 2013 mendatang. Terkait dengan hal itu, Mendagri telah menerbitkan Surat Edaran No. 800/5335/SJ, tanggal 27 Desember 2012.
Dalam surat itu antara lain menegaskan isi pasal 28 (a) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain”.
Tasdik Kinanto menambahkan, menghadapi maraknya kasus politisasi birokrasi di sejumlah daerah, akan dibentuk Tim Gabungan yang terdiri dari Kementerian PANRB, Kemendagri dan BKN. Politisasi birokrasi di daerah harus dihentikan, tambahnya. (ags/HUMAS MENPANRB)