Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik dari FISIP Universitas Brawijaya Wawan Sobari dalam webinar bertema Netralitas dan Kewaspadaan Politisasi ASN dalam Pilkada Serentak Tahun 2020, Senin (10/08).
JAKARTA – Keberadaan aparatur sipil negara (ASN) masih menjadi magnet yang cukup kuat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). ASN pun terkadang dihadapkan pada dilema untuk menjalankan perintah petahana sebagai PNS ataupun bertindak atas kehendaknya guna mendukung petahana dalam urusan politik. Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik dari FISIP Universitas Brawijaya Wawan Sobari mengatakan ASN harus mengetahui logika politik petahana ketika berkaitan dengan ASN dalam pilkada.
Ia menyampaikan setidaknya ada tiga politik petahana dalam pilkada yang bisa diantisipasi oleh ASN. Yang pertama adalah kenyataan bahwa ASN berpotensi mendorong elektabilitas ataupun menciptakan rivalitas bagi petahana.
“ASN bisa dibilang sebagai salah satu ‘aktor’ yang berada pada posisi mendukung atau berbahaya bagi petahana,” ujar Wawan dalam webinar bertema Netralitas dan Kewaspadaan Politisasi ASN dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 yang digelar oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) yang bekerja sama dengan FISIP Universitas Diponegoro, Senin (10/08).
Logika politik petahana yang kedua adalah terkait kemenangan bagi petahana. Wawan menjelaskan, ASN yang partisan dimungkinkan untuk mendesain regulasi yang menguntungkan petahana dengan membuat program-program yang dapat mendulang popularitas bagi petahana di mata masyarakat. Terakhir, petahana menjadikan ASN sebagai kesempatan untuk kembali memenangkan pilkada dan ancaman bagi petahana.
Lebih lanjut, pria yang juga Dosen bidang Politik Kreatif FISIP Universitas Brawijaya ini menyampaikan pendapatnya terkait netralitas ASN dalam Pilkada. Menurutnya, perlu dibedakan keberpihakan ASN dalam pilkada antara sebagai pelaku dan korban. Selama ini, seringnya ASN dilihat sebagai pelaku ketidaknetralan dalam pilkada. “Sepertinya selama ini sulit untuk mengawasi petahana, untuk itu perlu ada regulasi netralitas yang dikembangkan untuk meminimalisir ASN sebaga korban politik petahana,” usulnya.
Selain itu, ia juga mengimbau para pembuat kebijakan untuk tidak hanya berfokus pada peraturan tertulis dan juga tindakan (practices), tapi juga pada kekuatan narasi. Terlebih lagi di era digital dan birokrasi modern, kekuatan cerita dan gagasan dinilai penting dalam mengatur regulasi terkait netralitas ASN.
Dari sisi masyarakat sipil, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan netralitas ASN dipandang sebagai refleksi atas penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil. Sumber daya negara berupa birokrasi, keuangan, dan kewenangan, harus diyakinkan tidak dimanipulasi untuk kepentingan salah satu pihak. “Implikasi ketidaknetralan ASN itu panjang, tidak hanya pada pelanggaran hukum, tapi juga berdampak pada kepercayaan publik terhadap kualitas kejujuran dan demokrasi itu sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang harus tersedia untuk mengantisipasi ketidaknetralan ASN dalam pilkada, yakni jaminan regulasi harus kuat dan integritas ASN harus kokoh. Selain itu, integritas calon pasangan dan peran partai politik juga harus memerankan fungsi saling mengawasi dan tidak mempolitisasi ASN. Oleh karena itu, sistem pengawasan dan penegakan hukum harus efektif. Dan yang tak kalah penting adalah pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang netralitas ASN, harus dibangun lebih baik.
Di akhir sesi, Titi juga merekomendasikan untuk memperkuat digital literasi ASN untuk mendorong ASN lebih bijaksana dalam pilkada, terutama saat bermedia sosial. Pemerintah juga harus menyediakan akses yang mudah bagi masyarakat untuk melapor dengan jaminan keamanan/perlindungan hukum. Selain itu, pendidikan bagi pemilih dan sosialisasi kepemiluan terkait netralitas ASN juga harus diperkuat. “Kalau masyarakat paham, maka masyarakat bisa menjadi controller terhadap situasi ini,” pungkasnya. (nan/HUMAS MENPANRB)