JAKARTA – Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) kembali unjuk gigi setelah beberapa waktu lalu sempat membatalkan pengisian jabatan untuk Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan menegur Kemenlu, Kemenko Perekonomian dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kali ini, KASN membatalkan pengisian jabatan di Kabupaten Sumba Barat Daya, pengangkatan pejabat eselon II di Kabupaten Tana Tidung.
Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers Anggota KASN Waluyo dan I Made Suwandi di Media Center Kementerian PANRB, Selasa (10/03). “Masih ada pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT) di daerah yang belum melalui seleksi terbuka. Antara lain Kabupaten tana Tidung (Kalimantan Utara), Kabupaten Sumba Barat Daya (NTT),” ujar Waluyo.
Kasus di Tanah Tidung berawal dari pengangkatan pejabat struktural eselon II, III, dan IV oleh Bupati Petahana Tana Tidung pada tanggal 16 Januari 2015. Sehari kemudian, yakni tanggal 17 Januari 2015, Bupati melantik 49 pejabat baru tersebut, hanya sehari sebelum sang bupati purna tugas.
Menurut Made Suwandi, pengangkatan yang tidak melalui proses seleksi terbuka itu tidak hanya melanggar Undang-Undang No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Keputusan ini juga tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Disebutkan, pasal 71 Perpu tersebut menyatakan bahwa Petahana dilarang melakukan penggantian pejabat dalam enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
Atas peristiwa itu, Komisi ASN telah merekomendasikan, Bupati harus mengembalikan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diganti dan melakukan proses ulang pengisian JPT pratama untuk pejabat yang dilantik tanggal 17 Januari 2015 melalui seleksi terbuka. “Rekomendasi ini bersifat final,” tegasnya.
Selain itu, KASN juga merekomendasikan untuk melakukan kajian atas pengangkatan jabatan eselon III dan eselon IV yang telah dilantik tanggal 17 Januari dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Made Suwandi, kasus yang yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), lebih dahsyat. Berawal dari mutasi yang dilakukan terhadap 275 ASN dan pembebastugasan 19 ASN eselon III oleh Bupati Sumba Barat Daya Markus Dairo Tallu pada tanggal 24 Desember 2014. “Keputusan ini menimbulkan kegelisahan dan ketidakpastian ASN di kabupaten tersebut,” ujarnya.
Selanjutnya Komisi ASN melakukan penelusuran data PNS yang dimutasikan kepada pemangku kepentingan, berkorrdinasi dengan BKN, Kementerian Dalam Negeri, dan Inspektorat Provinsi NTT. Ternyata, pembebasan tugas itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Dalam PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, pembebasan tugas hanya diberikan bagi pelanggaran berat. “Itu pun setelah melalui tahapan-tahapan hukuman disiplin. Ini tidak dilakukan di Sumba Barat Daya,” imbuh Made Suwandi.
Dalam hal ini KASN memberikan rekomendasi yang berbeda. Pertama, lima pejabat yang sudah dilantik untuk mengisi jabatan yang kosong dan memenuhikrietria sebagaimana diatur dalam PP No. 13/2002 dapat diteruskan. Sementara pejabat eselon III A dan III B yang telah dibebastugaskan tanpa melalui proses yang diatur dalam PP No. 53/2010, direkomendasikan untuk dikembalikan ke posisi semula. Sementara pejabat yang sudah diangkat sebagai pengganti pejabat yang dibebastugaskan supaya dikembalikan ke jabatan semula.
Baik Made Suwandi maupun Waluyo mengatakan, ketika memverifikasi Bupati atau pejabat daerah, mereka ada yang mengatakan tidak tahu kalau sudah ada peraturannya. Tetapi sulit dipahami kalau ternyata ada pemda yang letaknya juga sangat jauh, seperti di Talaud saja ternyata sudah melakukan seleksi terbuka. “Apakah benar-benar tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu ?” sergah Waluyo.
KASN mengakui, menjelang diberlakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung serentak pada Desember 2015 ini, birokrasi rawan terhadap politisasi. Ada Petahana yang berusaha mempertahankan ASN yang dinilai loyal dan bisa dimasukkan gerbong tim sukses, tetapi ada sementara ASN yang dinilai membahayakan. Untuk kelompok kedua ini, biasanya menjadi target untuk dibebastugaskan oleh sang bupati/walikota.
Padahal, ujar Suwandi, dalam UU ASN jelas dan tegas diatur bahwa PNS/ASN tidak boleh berpolitik. Sesuai pasal 2 butir g, salah satu asas PNS adalah netralitas. Pasal ini sangat penting untuk melindungi PNS dari politisasi birokrasi. (ags/HUMAS MENPANRB)