JAKARTA - Membuat Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LaKIP) bukan sekadar tentang bentuk pertanggung jawaban, tetapi juga sebagai tolak ukur dalam menilai ketepatan dalam menyasar target-target kerja yang ditetapkan. Karena itu diperlukan perencanaan kinerja yang matang serta tolak ukur penilaian yang transparan dan professional guna meningkatkan optimalisasi hasil kinerja yang kemudian dilaporkan dalam LaKIP.
Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan, Pemantauan, dan Evaluasi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Ronald Andreas Annas ketika menjadi pembicara dalam acara Diklat Report Writing LaKIP dan Komunikasi dalam Budaya Kerja yang dilaksanakan di lingkungan Kementerian PANRB, Kamis (21/5) siang. “LaKIP juga sebagai bentuk kajian evaluasi dalam meningkatkan kinerja instansi pemerintah ke depannya,” ujarnya.
Hal disampaikan kepada peserta Balai Diklat Bahasa Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang membahas tata cara penulisan laporan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah dan pedoman pengembangan budaya kerja bagi aparatur sipil negara (ASN).
Roni, sapaan akrab Ronald Andreas Annas, mengatakan penulisan LaKIP telah tertuang jelas panduannya dalam Peraturan Menteri PANRB No. 53 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Kelola Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintan
Di dalam peraturan tersebut dijelaskan secara sistematis mengenai kriteria dan mekanisme penyusunan LaKIP, serta mekanisme penilaian LaKIP oleh Kementerian PANRB. Format LaKIP yang tertuang dalam Permenpan 53 tahun 2014 terbagi menjadi empat bab utama, yakni uraian singkat organisasi, rencana dan target kinerja, laporan akuntabilitas, dan kemudian diakhiri oleh bab penutup, jelas Roni.
Namun, imbuhnya, kalau ada LaKIP yang jumlahnya berlebih, semisal ditambah dengan beragam lampiran, sah-sah saja sejauh tetap berpegang pada empat bab utama terkait. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dan mempersingkat waktu penilaian LaKIP oleh Kementerian PANRB. Selain itu, format terkait juga dimaksudkan untuk mengefisiensikan proses penilaian mengenai realisasi target kerja sehingga didapatkan bahan evaluasi guna memperbaiki kinerja instansi pemerintah ke depannya.
Asisten Deputi Koordinasi Kebijakan, Penyusunan, dan Evaluasi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Teguh Widjinarko yang juga menjadi pembicara menjelaskan, budaya kerja sebagai aspek penting dalam mewujudkan revolusi mental aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana yang diserukan oleh Menteri PANRB Yuddy Chrisnandi. “Budaya kerja dapat mendorong kita untuk merasa bangga terhadap organisasi tempat kita bernaung. Kebanggaan terhadap organisasi akan memacu untuk memiliki komitmen tinggi dalam meningkatkan partisipasi aktif sebagai aparatur sipil negara,” ujarnya.
Menurut Teguh, ada 8 karakter utama dalam membentuk semangat budaya kerja. Karakter pertama adalah berpikiran terbuka, di mana ASN diharapkan mampu berpikir kritis dalam mengelola unit kerja masing-masing. Selanjutnya, ASN juga diharapkan bersikap sederhana, positif, dan saling bertenggang rasa agar tercipta kerharmonisan dunia kerja di lingkup instansi pemerintah.
Selain itu, ASN juga dianjurkan untuk memiliki komitmen kuat serta integritas dalam menjalani tugas melayani. ASN pun dianjurkan untuk bersikap amanah dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas kerjanya. Lebih dari itu, ASN diharapkan memiliki sikap inisiatif guna meningkatkan kapabilitasnya dalam menangani unit kerja masing-masing, di mana pada akhirnya akan berujung pada profesionalisme.
“Delapan karakteristik tersebut telah tercakup dalam tiga pilar budaya unggul yang diterapkan oleh Kementerian PANRB, yakni integritas, professional, dan akunatbel,” tukas Teguh. (hfu/HUMAS MENPANRB)