Staf Khusus Menteri PANRB bidang Penanganan Anti Korupsi Rakhmad Setyadi.
JAKARTA – Salah satu akar masalah dari masih buruknya layanan publik adalah hubungan transaksional yang tidak sah antara pemohon izin dengan oknum petugas pelayanan. Menyadari hal itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengembangkan program pengendalian gratifikasi. Salah satu caranya adalah melalui aplikasi Gratifikasi Online atau GOL KPK, sebuah aplikasi pelaporan gratifikasi.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) sangat mendukung penerapan aplikasi ini. Aparatur sipil negara (ASN) dan pejabat negara juga dapat memanfaatkan aplikasi GOL sehingga dimudahkan dalam melaporkan penerimaan gratifikasi.
Masyarakat maupun ASN yang ingin melaporkan gratifikasi terlebih dahulu mendaftarkan diri sebagai pengguna aplikasi GOL. Selanjutnya, pelapor memasukkan data laporan dan dokumen pendukung, kemudian mengirimkannya kepada KPK melalui aplikasi ini. Laporan gratifikasi yang disampaikan melalui aplikasi GOL akan diproses KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak laporan dinyatakan lengkap dan diterima oleh KPK.
Selain itu, Kementerian PANRB juga memiliki Unit Pengendali Gratifikasi (UPG), yang diketuai oleh Inspektur Kementerian PANRB. Dalam susunan keanggotaannya, Menteri PANRB berkedudukan sebagai pengarah, sementara Sekretaris Kementerian PANRB beserta seluruh deputi menjadi pembina. UPG beranggotakan 17 orang, yang tersebar di seluruh unit kerja.
Staf Khusus Menteri PANRB bidang Penanganan Anti Korupsi, Rakhmad Setyadi menerangkan, tugas anggota UPG salah satunya adalah menerima laporan gratifikasi, pemilihan kategori gratifikasi, serta memfasilitasi penerusan laporan ke KPK. “UPG juga bertugas menyampaikan SK Pimpinan KPK tentang penetapan status gratifikasi. Serta menyimpan bukti penyetoran uang dan penyerahan barang gratifikasi ke KPK, apabila diputuskan menjadi milik negara,” jelas Rakhmad.
Anggota UPG juga melaksanakan sosialisasi kebijakan terkait pengendalian gratifikasi. Tugas lainnya adalah menyampaikan laporan pengendalian gratifikasi, evaluasi atas efektivitas kebijakan, serta koordinasi dengan KPK. Keberadaan UPG didasarkan pada Peraturan Menteri PANRB No. 4/2015 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian PANRB.
Perlu diingat, gratifikasi bagian dari tindak pidana korupsi yang termuat dalam pasal 12B, UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri, dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika maupun tanpa sarana elektronika.
“Tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum, melainkan yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja,” ungkap Rakhmad.
Pengendalian gratifikasi di lingkungan pemerintahan adalah bagian dari reformasi birokrasi yang mendorong visi Presiden Joko Widodo, yakni Indonesia maju dan bergerak dinamis. Dampak bola salju reformasi birokrasi dapat menggerakkan semua sektor kehidupan masyarakat. Pelayanan publik yang profesional, transparan dan agile dapat segera terwujud, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Penguatan implementasi program pengendalian gratifikasi memerlukan komitmen pimpinan hingga level unit kerja. Perlu juga sosialisasi mandiri serta implementasi nilai-nilai integritas, yakni membangun kesadaran melapor, serta lingkungan pengendalian yang transparan dan akuntabel.
Menekan praktik gratifikasi juga perlu dilakukan bimbingan teknis tentang pengelolaan UPG pada kementerian dan lembaga. Adanya program KPK berupa e-learning bimbingan teknis pengendalian gratifikasi, diharapkan mampu meningkatkan implementasi pengendalian tersebut. Peningkatan pengendalian gratifikasi tentunya perlu diperkuat dengan internalisasi regulasi terkait gratifikasi.
Rakhmad menjelaskan, reformasi birokrasi memerlukan dukungan menyeluruh dari semua pihak, baik aparatur sipil negara (ASN), maupun pihak yang terlibat dalam pelayanan publik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan dan kelincahan pelayanan, diantaranya adalah motivasi ASN, dan kebutuhan masyarakat yang memerlukan layanan.
“Adanya penyimpangan dalam pelayanan publik bermula dari hubungan mutualisme tersebut, tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku,” ungkap Rakhmad. Hal ini menyebabkan diskriminasi, perbedaan pelayanan berdasarkan motif-motif tertentu, terutama adanya imbalan berupa materi.
Korupsi sering kali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari oleh pegawai negeri dan pejabat negara. Misalnya, menerima hadiah dalam satu acara pribadi, atau menerima fasilitas tertentu yang tidak wajar. Hal semacam itu semakin lama akan menjadi kebiasaan. Cepat atau lambat, kebiasaan itu akan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pejabat atau pegawai yang bersangkutan.
Banyak persepsi yang menyebut pemberian semacam itu adalah hal wajar sebagai ucapan terima kasih. Namun perlu disadari bahwa pemberian tersebut selalu terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima. “Serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa,” ungkap Rakhmad.
Rakhmad dengan tegas mengajak ASN harus berani menolak setiap upaya yang mempengaruhi profesionalisme dengan iming-iming hadiah. Menolak gratifikasi adalah salah satu upaya agar Indonesia bisa bergerak maju menjadi negara yang besar. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang terbaik bukan suatu keniscayaan.
“Cita-cita pendiri bangsa ini jangan sampai kita nodai dengan dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keluhuran bangsa. Pengendalian gratifikasi terbaik dimulai dari diri kita sendiri,” pungkasnya. (don/HUMAS MENPANRB)