JAKARTA – Pondasi dalam suatu manajemen kinerja merupakan hal vital dalam pembangunan yang berbasis kinerja. Harus dipikirkan terlebih dulu untuk apa perubahan itu dan apa yang akan diubah. Tidak sekadar laporan kegiatan, tapi laporan kinerja yang mengakuntabilitaskan janji kinerja seperti yang disebutkan dalam dokumen perencanaan.
Asdep Perumusan Kebijakan Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian PANRB Ronald Andrea Annas mengatakan, laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) tidak sekadar catat mencatat. Tapi harus berorientasi menerapkan manajemen kinerja ke dalam Sistem AKIP. Selain itu, yang mau ditekankan adalah paradigmanya untuk mengubah sesuatu, dengan menyiapkangoal setting untuk mencapai kondisi yang diinginkan, baru kembali ke planning, do, check, dan action (PDCA).
“Jangan bikin apa-apa sebelum ada pondasi. Jangan bikin program apapun, jangan pikirkan kegiatan apapun sebelum tahu untuk apa perubahan tersebut. Apa yang mau diubah untuk menjadi lebih baik lagi,” ujarnya saat memberi pengarahan pada Diseminasi Sistem AKIP dan Diseminasi Evaluasi AKIP, Rabu (04/12).
Dikatakan, sejak jaman Indonesia merdeka sudah melakukan perencanaan sampai pelaporan. “Tapi yang diharapkan bukan hanya perencanaan biasa. Harus ada ukuran kinerja, baru pelaporan outcome dan evaluasi,” imbuhnya.
Salah satu contohnya melalui diseminasi sistem AKIP dan diseminasi evaluasi AKIP, yang ditujukan agar setiap instansi dapat bergerak cepat untuk mendapat predikat A pada hasil evaluasi LAKIP-nya.
Permasalahannya, lanjut Ronald, instansi kadang bekerja tidak berorientasi pada outcome. Namun bergantung pada kinerja pihak lain, juga tidak konsisten antara dokumen-dokumen perencanaan dengan sasaran yang tidak tepat dari organisasi ke unit kerja. “Hindari tujuan kegiatan yang hanya berujung pada output atau proses, kecuali output yang monumental dengan tujuan yang harus lebih tinggi daripada sasaran,” ujarnya. (bby/HUMAS MENPANRB)