Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB Diah Natalisa saat acara Standar Pelayanan dan Panduan Pemberian Pelayanan Pasca-pandemi Covid-19 pada Sektor Pariwisata, secara virtual, Rabu (22/09).
JAKARTA – Pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling terpukul selama Covid-19 mewabah. Namun kini, pariwisata mulai meningkat perlahan yang berpengaruh bagi ekonomi warga sekitar area wisata. Banyaknya penyesuaian dengan kondisi pandemi, masukan dari masyarakat perlu ditampung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk bisa berkolaborasi dengan banyak pihak.
Hal itu disampaikan Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Diah Natalisa saat acara Standar Pelayanan dan Panduan Pemberian Pelayanan Pasca-pandemi Covid-19 pada Sektor Pariwisata, secara virtual, Rabu (22/09). Diah mendorong Kemenparekraf bisa menyelenggarakan Forum Konsultasi Publik (FKP), terutama dalam kondisi saat ini.
“Dengan Forum Konsultasi Publik, kita dapat membuka jalan untuk dapat berkolaborasi dengan banyak pihak, dan tentunya dapat memantik lahirnya inovasi dan kreasi baru dalam pelayanan di sektor kepariwisataan,” ujar Diah. Diah menegaskan, masukan dari masyarakat atau pemangku kepentingan terkait merupakan perbaikan yang sangat bernilai.
Saat ini, akses informasi tersedia sangat luas bahkan seakan tanpa batas. Kondisi tersebut bisa digunakan secara maksimal untuk diseminasi informasi pelayanan publik di bidang pariwisata. Melalui sistem informasi, pemerintah tidak hanya bisa menyampaikan informasi, tetapi juga promosi berbagai layanan pariwisata yang tersedia di seluruh negeri.
Informasi mengenai lokasi wisata juga harus menyertakan standar pelaksanaan higienitas pada area, sarana, dan prasarana yang digunakan bersama. Pengelola wisata juga harus menyertakan standar untuk penerapan jaga jarak, pembatasan kuota wisatawan, serta penegakkan disiplin penerapan protokol kesehatan.
“Kami mendorong agar pengelola dapat memiliki SOP yang mengacu pada panduan CHSE pada daya tarik wisata,” ungkap Diah. Perlu diketahui, CHSE adalah program Kemenparekraf berupa penerapan protokol kesehatan yang berbasis pada Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).
Pengelola wisata juga harus menetapkan ketentuan lain sesuai anjuran Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah terkait, dan Satuan Tugas Covid-19 Daerah. “Juga menyiapkan SOP untuk menangani kondisi darurat kesehatan dan berkoordinasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat,” tambah Diah.
Diah juga menekankan terkait profesionalisme SDM yang harus memahami pola hidup budaya sehat atau PHBS. Mitra terkait pengelolaan wisata juga harus memahami protokol kesehatan dan menerapkannya dengan disiplin.
Sebagai panduan, Kemenparekraf bisa mendorong agar penyelenggara layanan wisata bisa melatih karyawan, pemandu wisata, atau masyarakat sekitar untuk mempersiapkan dan melaksanakan SOP sebelum area wisata dibuka. Uji coba dan simulasi wisatawan juga sebaiknya dilakukan secara bertahap. Menurut Diah, jika diperlukan bisa juga membentuk dan melatih tim khusus penanganan kondisi darurat kesehatan, keselamatan, dan keamanan.
Karena berbagai pembatasan, Diah menyarankan agar pengelola wisata melakukan beragam inovasi, termasuk menggunakan pembayaran non-tunai serta menggunakan aplikasi PeduliLindungi. “Dalam hal ini, kita juga dapat mendorong agar penyelenggara layanan pariwisata dapat memiliki mekanisme pengembalian dana bagi wisatawan yang tidak diperkenankan masuk karena alasan kesehatan dan keamanan untuk pencegahan dan penanganan Covid-19,” tutup Diah. (don/HUMAS MENPANRB)