Desa Wisata Pulesari yang terletak di Wonokerto, Turi, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
YOGYAKARTA - Momen mudik dapat sekaligus dijadikan kesempatan untuk berlibur bersama keluarga menikmati objek wisata. Jika berada di wilayah Yogyakarta, dapat mencoba berkunjung ke Desa Pulesari.
Desa yang berada di lereng Gunung Merapi ini berhawa sejuk dan asri. Terlihat kebun salak yang ada hampir di setiap kebun warganya. Kesejukan ini juga ditambah dengan keramahan warganya yang menyapa para pendatang yang berkunjung ke desa wisata ini.
Objek wisata ini terletak di Wonokerto, Turi, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekitar satu jam waktu tempuh perjalanan untuk sampai ke desa ini jika berangkat dari Bandara Adi Sutjipto. Pengunjung akan mulai menyadari telah masuk ke kawasan desa ini ketika jalan aspal yang ditempuh mulai mengecil dan kebun salak berada di antara rumah-rumah warga. Hingga kemudian tibalah di sebuah pendopo dengan plang besar bertuliskan "Dewi Pule - Desa Wisata Pulesari", maka telah resmi menginjakkan kaki di desa ini.
Desa ini terbentuk menjadi sebuah kawasan pariwisata pascaerupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu. Erupsi tersebut berdampak ke sumber pendapatan dan perekonomian masyarakat. Salak pondoh yang menjadi komoditas utama pertanian di kawasan ini terkena debu Gunung Merapi yang mengakibatkan pohon salak tumbang dan rusak. Butuh waktu sekitar 2,5 tahun untuk melakukan penyesuaian pada tanaman tersebut agar bisa tumbuh kembali. Hingga pada 2012 salak mulai menunjukkan pertumbuhan dan menjadi sumber tambahan bagi masyarakat sekitar.
"Kita terus berupaya bagaimana membuat konsep kegiatan semacam usaha bersama untuk kesejahteraan masyarakat. Maka kita pilihlah konsep desa wisata ini," ungkap Ketua Desa Wisata Pulesari Didik Irwanto.
Dikatakan, konsep desa wisata ini akan menambah sumber pendapatan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Maka terbentuklah desa wisata ini secara resmi pada 9 November 2012. Dengan memoles dan mengembangkan sebuah potensi alam yang ada beserta seni budaya tradisi yang dimilikinya, desa ini mampu muncul kembali dengan menawarkan berbagai atraksi dan wahana sebagai daya tarik pariwisata. Untuk wisata alam ada di kawasan lereng Gunung Merapi sisi barat, kawasan pertanian salak pondoh dan wahana air sungai yang menjadi andalan desa ini.
Musyawarah dan gotong royong sepertinya sangat dimaknai bagi setiap warga desa ini. Mengusung konsep dari masyarakat, untuk masyarakat dan oleh masyarakat ini menurut Didik membuat semua pihak sadar akan perannya masing-masing. Dari 80 kepala keluarga (KK) yang ada di desa tersebut, semuanya terlibat dalam memajukan pariwisata di Dewi Pule. Baik anak-anak hingga lansia, semua berkomitmen untuk menjadikan pariwisata desa ini sebagai milik bersama, bukan perseorangan. Ibu-ibu dalam setiap keluarga pun tergabung ke dalam kelompok Dasa Wisma yang akan mengurusi kebutuhan katering wisatawan. Hal ini akan menjadi penguat bagi kearifan lokal sehingga pariwisata ini dapat terus berkembang.
Selain musyawah, budaya dan tradisi juga masih mereka jaga kelestariannya. Tampak dari berbagai tarian yang mereka sajikan untuk menyambut para pengunjung. Tidak hanya itu, anak-anak juga ikut serta menunjukkan permainan rakyat seperti engrang, bakiak dan dakon kepada pengunjung yang datang. Selain permainan rakyat, juga ada olahraga tradisional yang mereka tampilkan, seperti Jemparingan. Jemparingan adalah olahraga memanah yang dilakukan dalam posisi duduk. Dulunya, olahraga ini dilakukan oleh rakyat sebagai pertunjukan untuk Raja Keraton ketika ada tamu yang datang.
Dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM) pun, Didik mengatakan bahwa mereka membagi masyarakat dalam kelompok-kelompok. Berbagai kelompok inilah yang nantinya akan memenuhi kebutuhan kegiatan wisata para pengunjung. "Ada kelompok katering untuk mengurus konsumsi, kelompok pemuda/karang taruna yang menjadi pemandu, kelompok lansia yang diberdayakan untuk jamu tamu, dan masih banyak lagi kelompok yang sedang kita buat untuk memenuhi kebutuhan pariwisata disini," ujar Didik.
Seorang warga desa, Alfiah, mengatakan setiap rumah di desa ini memiliki usaha kecil menengah (UKM), setidaknya homestay. UKM berupa produk olahan dibuat secara bersama dan sesuai permintaan. "Dengan adanya konsep ini, masyarakat memiliki penghasilan tambahan, baik dari homestay, katering maupun menjadi pemandu desa," ujar Alfiah.
Menurut Alfiah, desa ini memprioritaskan kepentingan bersama dan bukan pribadi, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan, iri hati maupun cemburu sosial. Karena semua pekerjaan baik dari katering, homestay, memandu wisata dan membuat produk olahan dilakukan bersama, bergiliran dan teratur.
Untuk sistem bagi hasil, Didik mengatakan bahwa ada dua cara, yaitu sistem nominal dan sistem persentase. Sistem nominal yaitu tiap kelompok digilir berdasarkan nominal yang mereka terima untuk setiap melakukan pekerjaannya. Jika satu kelompok dasa wisma telah mencapai nominal tertentu saat menyiapkan katering, maka untuk katering selanjutnya akan digilirkan kepada kelompok dasa wisma lainnya. Sedangkan untuk sistem persentase yaitu pemanfaatan fasilitas yang dibuat warga kemudian bekerja sama dengan pengelola dan kemudian pengelola akan menjalankan fungsi marketing. Misalnya homestay yang dimiliki warga akan dibantu promosinya oleh pengelola kepada para wisatawan.
Terkait campur tangan pemerintah dalam pembangunan desa wisata ini, Didik menuturkan pemerintah membantu dalam memberikan ide gagasan terkait bagaimana mengembangkan SDM yang ada dengan konsep-konsep pariwisata dan juga pembangunan infrastruktur di desa ini. Lebih lanjut, pemerintah juga kerap melibatkan Dewi Pule dalam kegiatan-kegiatan seperti pameran, festival dan lomba desa wisata.
"Pada tahun ini di tingkat Kabupaten Sleman, Desa Pulesari mendapatkan juara 1 dari 47 desa wisata. Kemudian, belum lama ini, di tingkat provinsi kita juara 2," ujar Didik.
Mengenai standar operasional prosedur (SOP) dalam melayani wisatawan, Didik menyatakan ada SOP Kepemanduan. Hal ini terkait dengan Sustainable Tourism Development (Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan) dimana pariwisata ini tidak hanya dapat dinikmati zaman sekarang tapi juga untuk generasi mendatang. Sehingga akan ada penerapan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, mulai dari sistem kelembagaan berkelanjutan, peningkatan ekonomi masyarakat, sosial budaya masyarakat yang dijaga, dan pengelolaan lingkungan.
Dalam perjalanannya tentu ada kendala yang dihadapi ketika proses pembangunan desa ini berlangsung. Kendala itu diantaranya bagaimana merubah masyarakat yang awalnya bekerja dalam bidang agrobisnis sebagai petani salak menjadi masyarakat yang sadar pariwisata. Namun Didik optimis walaupun prosesnya butuh waktu lama, namun masyarakat akan mampu menciptakan prinsip sapta pesona, yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah dan kenangan. (nan/HUMAS MENPANRB)