Pin It
 reformasibirokrasi
 JAKARTA – Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menyayangkan keterlibatan PNS Pemerintah Kabupaten Bogor  dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh penyidik KPK di rest area Sentul Bogor Jawa Barat, Selasa (16/4/2013). Kasus ini semakin menambah panjang daftar penyelenggara negara, termasuk PNS dalam kasus korupsi.
 
Kalau hal ini terkait dengan pengurusan izin lahan seluas 100 hektare yang akan digunakan untuk pemakaman elit di Kabupaten Bogor, kasus ini sekaligus membenamkan harapan masyarakat, khususnya  dunia usaha untuk mendapatkan pelayanan yang baik dalam mengurus perijinan.
 
Peristiwa itu juga melengkapi serial operasi tangkap tangan oleh KPK dalam beberapa waktu terakhir, dari PNS Pemkot Bandung,  PNS Ditjen Pajak, dan kini giliran pegawai Pemkab Bogor. Hal ini semakin membuat miris, dan harus ada langkah-langkah konkret.
 
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Eko Prasojo tak habis pikir, kenapa aparatur negara tidak kapok melihat rekan sejawatnya telah ditangkap KPK. “Entah apa yang dipikirkan para pegawai itu. Apakah dia bermain sendiri, atau dia hanya sebagai  boneka. Tapi yang jelas kasus ini harus ditangani secara tepat,” ujarnya di Jakarta, Rabu (17/04).
 
Diakui, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), karena itu penanganannya tidak bisa hanya dengan cara-cara biasa.  Hal itu sangat terasa di sektor pelayanan public yang menangani perijinan, seperti ijin prinsip penggunaan lahan.
Di sini aturan harus benar-benar transparan, antara pemohon ijin dan pemberi pelayanan jangan main mata, dan masyarakat harus ikut mengawasi. Undang-Undang No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik sebenarnya telah mengatur semuanya. “Sebaiknya pelayanan perijinan dilakukan dengan mengoptimalkan penerapan teknologi informasi (TI), atau pelayanan berbasis elektroni dan menghindari pelayanan tatap muka,” ujarnya.
 
Selain itu, Mendagri, Menteri PANRB, dan Kepala BKPM telah membuat surat edaran bersama agar  kepala daerah mendelegasikan kewenangannya dalam pelayanan perijinan, termasuk ijin prinsip. “Kalau memenuhi syarat berikan ijinnya, tapi kalau tidak memenuhi persyaratan, sampaikan dengan tegas bahwa tidak bisa,” ujar Eko Prasojo. Salah satu masalah yang ditemui dalam perijinan seperti yang terjadi di Bogor ini, imbuh Wamen, biasanya terdapatnya area abu-abu (grey area), yang membuka peluang terjadinya KKN.
 
Wamen menegaskan, berdasarkan Undan-Undang No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, seorang PNS diberhentikan karena terbukti melakukan kejahatan jabatan,  seperti  korupsi. Namun pasal ini sering dikaburkan, karena ada ayat yang menyatakan  bahwa PNS yang mendapat hukuman pidana maksimal 4 tahun masih dapat diangkat kembali. “Ini hanya berlaku untuk pidana umum. Sedangkan PNS yang terkena pidana seperti korupsi, harus diberhentikan,” tuturnya.
 
Namun diakui bahwa penerapan undang-undang itu sering kurang maksimal, sehingga tidak meberikan efek jera.  Karena itu, Wamen menekankan perlunya diterapkan pemberian sanksi secara tanggung renteng. “Kalau ada anak buah yang terkena kasus korupsi, atasanya harus ikut dikenai sanksi. Mulai dari atasan langsung sampai pimpinan tertinggi dari unit kerjanya juga harus diberi sanksi,” ujarnya.
 
Sanksi itu mulai dari namanya  dimasukkan dalam daftar hitam (black list) sampai pencopotan dari jabatan. Sanksi juga perlu diberikan kepada para pegawai di unit kerja pgawai yang terkena kasus korupsi itu, misalnya dengan menunda kenaikan pangkat.
 
Tetapi sebaliknya, kalau unit kerja itu berprestasi, misalnya dalam tiga tahun berturut-turut, pimpinannya mendapat prioritas untuk dipromosikan, sementara pegawai pada unit kerja itu diberi insentif seperti kenaikan pangkat. “Kalau hal ini bisa diterapkan, bisa lebih mengefektifkan reformasi birokrasi dalam menutup lubang-luang terjadinya korupsi,” tambah Wamen Eko Prasojo. (cry/bby/HUMASMENPANRB)