BOGOR - Gaya hidup mewah, konsumerisme, feodalisme yang telah merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa, juga menjadi penggoda aparatur negara untuk melakukan korupsi. Kuncinya, harus mampu menahan diri untuk tidak menyalahgunakan wewenang.
“Waktu susah, diskusi dengan teman-teman dilakukan di warung kopi. Tapi begitu jadi anggota DPR, diskusi dilakukan di hotel-hotel mewah. Setelah selesai diberi amplop,” ujar Agus Condro, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjadi Whistle Blower kasus travel check pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda S. Gultom.
Agus diundang untuk memberikan testimoni dalam acara pelatihan manajemen integritas bagi pegawai Kementerian PANRB, yang dihadiri Wamen PANRB Eko Prasojo, dan Sekretaris Kementerian PANRB Tasdik Kinanto, di Bogor (27/02).
Menurut Agus, kesadaran menegakkan integritas muncul ketika melihat lingkungan sekeliling. Namun sistem yang ada juga menciptakan peluang gaya hidup mewah, konsumerisme, feodalisme dan sejenisnya. Hal itu menjadi pendorong seseorang untuk melakukan korupsi.
Dia mencontohkan beberapa hal yang mendorong timbulnya korupsi, seperti proyek, perjalanan dinas yang tidak benar-benar diperlukan. Tujuannya hanya untuk menambah pendapatan. Itu merupakan pemborosan.
Menurut Agus Condro, dalam penegakan integritas harus dimulai dari diri sendiri. Melalukan sesuatu yang benar, mampu menahan diri untuk tidak menyalahgunakan wewenang. “Itu sudah merupakan sumbangan yang besar bagi bangsa dan Negara,” ucapnya.
Ketika ditanya apa yang perlu diperbaiki di dalam berbangsa dan bernegara ini, dia mengatakan harus mulai dari hulu, yaitu kekuatan di Senayan (DPR). “Selagi ongkos politik itu masih mahal, anggaran partai tidak jelas sumbernya, maka akan sulit diperbaiki,” kata Agus.
Namun, lanjutnya, kita tidak perlu selalu menyalahkan sistem, tapi sebaiknya kekuatan ketahanan diri sendiri. Faktor penanaman nilai-nilai agama juga sangat penting. Seperti dalam Islam, yang mengajarkan ada kehidupan setelah kematian, dan kehidupan setelah kematian itu sebagai pertanggungjawaban kehidupan sebelumnya.
Dia menyatakan, sudah merasakan bahwa kehidupan di penjara itu sangat terhina. Sebagai seorang napi, rasanya harga diri jatuh di bawah gembel atau “kere”. Namun sekarang ia merasa lega. “Semua saya ambil hikmahnya, sekarang saya lega, tidak punya beban lagi,” ujarnya.
Agus mengingatkan pegawai negeri dan pejabat negara, bahwa mereka digaji dari uang rakyat. Rakyat juga tahu berapa penghasilannya. Jadi kalau pegawai negeri hidup bermewah-mewahan, mereka tahu, itu pasti korupsi. “Kita harus berpikir, pegawai negeri atau aparatur negara digaji dari uang rakyat. Setiap warga negara punya hak untuk menuntut, karena rakyat sudah membayar pajak. Rakyat menagih haknya untuk mendapatkan pelayanan yang memadai”, ujarnya. (Swd/Biro Hukum dan Humas)