Tanggal 20 Januari 2011 lalu Korea International Cooperation Agency (KOICA) Indonesia bekerjasama dengan kantor Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menneg PAN dan RB), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelengarakan Seminar Sehari dengan mengangkat tema “Governance Reform in Indonesia and Korea: A Comparative Perspective”.
Seminar yang diselengagrakan di Hotel Nikko ini menghadirkan beberapa akademisi dari Universitas Korea Selatan – Public Adminstration Departement dan akademisi UGM, diikuti sekitar 300 utusan dari berbagai instansi Pemerintah Pusat, bersifat lintas batas. Mereka tampak antusias mengikutinya dari awal acara dibuka hingga berakhir, meski ada sebagian peserta tidak melanjutkan acara karena harus kembali bertugas.
Seminar dibuka Tasdik Kinanto, Sekretaris Menneg PAN dan RB, disaksikan langsung oleh Wakil Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Myung Soon Ahn. Dalam arahahnya, Tasdik sampaikan, seminar ini merupakan tindak lanjut atau serangkaian upaya membangun kapasitas (capacity building) untuk para pejabat pemerintah. “Acara ini merupakan hibah dalam kerangka mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi dengan memperkenalkan pengalaman Korea Selatan dan membagi pengetahuan melalui pelatihan, diskusi dalam bidang inovasi pemerintahan”, papar Tasdik.
Peningakatan kapasitas – tambah Tasdik – merupakan program integral dari upaya meningklatkan kualitas aparatur negara dalam kerangka melayani kepentingan publik yang kian dinamis corak masyarakatnya. Kita tahu, sikap masyarakat sekarang kian kritis. Maka, kinerja birokrasi bukan hanya harus responsif, tapi juga haruslah sadar bagaimana bersikap transparan. Budaya baru ini sekaligus menjawab tuntutan pemerintahan yang bersih dan akuntabel atau terbebas KKN. Budaya baru ini akan berhasil tercipta jika sistem manajemen pemerintahan harus diubah juga, diawali dari menghubah mind-set dan cultural-set. Arahnya, bagaimana melayani kepentingan publik, bukan sebaliknya: minta dilayani. Inilah tantangan yang tidak mudah, karena memang sudah diwarisi pola pikir dan budaya yang selalu minta dilayani.
Ada sejumlah pemikiran yang cukup menarik yang mengemuka dari forum seminar itu. Yaitu, sebagian peserta ingin tahu lebih jauh reputasi atau kinerja sistem birokrasi Korea, yang bukan hanya memberikan pelayanan publiknya secara maksimal, tapi – dan hal ini yang jauh lebih signifikan maknanya –mampu mengurngi tingkat korupsi. Dan hal ini berkorelasi positif bagi kemajuan negera dan kemakmuran (kesejehteraan) rakyatnya.
Jin-Park – narasumber pertama yang menyampaikan makalah “Direction and Strategies for Indonesian Bureaucracy Reform: Lesson from Korea – menyampaikan satu bagian kecil dari system birokrasi, yakni rekrutmen. Di Korea, penerimaan pegawai pemerintah didasarkan kompetensi, bukan tingkat akademik. Semakin tinggi level atau posisi yang dikehendaki, maka uji materi kompetensinya semakin sulit. Hal ini berpengaruh nyata dan sangatlah positif. Yaitu, siapapun yang duduk di kursinya – sesuai dengan posisinya – bukan hanya tepat, tapi benar-benar menguasi bidang yang dihadapi.
Menurut Guru Besar dari Korea Development Institute ini, pendekatan tes seperti itu tidak terlihat di Indonesia. Negeri ini lebih mengedepankan level ijazah pelamar. Sementara, tingkat ijazah belum menjamin kompetensinya. Akibatnya, tak sedikit posisi diisi oleh pegawai yang tidak mumpuni untuk menjalankan tugasnya. Dalam hal ini, prinsip managemen ”the right man in the right place” seperti diabaikan. Implikasinya tentu cukup luas. Salah satu dampak negatifnya adalah perjalanan sistem birokrasi tidak berjalan seperti yang diharapkan publik. Fakta di lapangan, tak sedikit di antara pegawai yang terekrut itu tidak menunjukkan kinerja terbaiknya akibat problem mentalitasnya. Ia – secara prosedur – sudah memenuhi persyaratan akademik. Tapi, ia tidak mampu menjalankan tugasnya secara maksimal karena terbentur mentalnya yang tidak baik. Di sinilah, gejala negatif, sehingga bukan hanya sistem birokrasinya lamban dan bermasalah, tapi lebih dari itu: menggali potensi penyalahgunaan wewenang. Dan sekarang ini di Indonesia, sudah sampai pada titik strukturalistik korupsinya: bukan hanya lapisan pejabat, tapi sampai ke tingkat terendah pun ikut serta dalam melakukan tindakan korupsi.
Terkait dengan spirit pencerahan sistem birokrasi, Park menyarankan agar sistem rekrutmen diarahkan ke masalah kompetensi. Pendekatan ini juga perlu untuk agenda promosi jabatan. Semakin tinggi jabatannya, maka uji kompetensinya haruslah semakin sulit. Dalam hal ini, Park tidak mentertakan unsur strategis (moralitas) yang – dalam konteks Indonesia – justru krusial. Krisis birokrasi – secara obyektif – justru lebih dominan akibat kerusakan mentalitasnya. Karena itu, semakin baik sistem pengujian (reqruitment test) akan semakin baik pula hasilnya bagi pengembangan sistem birokrasi.
Di sisi lain, Park juga menyoroti – secara komparatif – sistem penempatan dan promosi pegawai. Di Korea, cukup sering dilakukan rotasi. Maknanya – secara mendasar – untuk menghindari kejenuhan. Di sisi lain, menciptakan masing-masing pegawai mengenali masing-masing ”meja” (tugas). Dan, yang jauh lebih signifikan pengaruhnya terhadap persoalan antikorupsi adalah rentang waktu menduduki jabatan tertentu yang terkategori tidak lama akan membuat dirinya tidak punya ”kuku” tajam (punya wewenang) yang lebih kuat, sehingga hal itu berpotensi negatif (penyalahgunaan) jabatan.
Sementara, Park melihat tak sedikit di antara pegawai atau pejabat terlalu lama menduduki posisinya. Tapi, ada juga yang relatif cepat. Dua perlakuan berbeda ini – di satu sisi – menimbulkan persoalan tersendiri, antara lain, kecurigaan sikap ”suka-tidak suka” (like and dislike). Rumor pun sering muncul: tekait desas-desus tentang sogokan. Maka, jika sogokannnya kuat kepada atasannya, maka ia akan bertahan dalam posisinya yang biasanya terkategori ”basah”. Sebaliknya, jika tak bisa mengambil hati atasannya, antara lain dengan sogokan, maka ia akan sulit dipromosikan. Implikasinya, bukan hanya kejenuhan atas tugas yang dihadapi sehari-hari, tapi kehilangan gairah dalam bekerja. Hal ini – pada ahkhirnya – menghilangkan motivasi kerjanya dan kinerjanya pun menjadi merosot.
Menggaris-bawahi catatan Park, Yusuf – salah satu peserta dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) – menyampaikan, ada problem besar dari sistem rekrutmen sejak Era Reformasi diberlakukan. Sekarang ini, setiap Pemda dipersilakan menyelenggarakan tes penerimaan pegawai negeri sipil. Sistem reskrutmen desentralistik ini – di satu – menghamburkan uang negara yang tidak kecil. Di sisi lain, menjadi persoalan tersendiri terhadap kualitas tesnya. Pendakatan tes yang menampak dominan tidak menelisik lebih jauh tentang kualitas peserta tes. Jika ditindaklanjuti sampai pada tahab wawancara, arahnya lebih ke masalah kompensasional. Inilah sumber baru korupsi dalam sistem perekrutan pegawai negeri sipil.
”Untuk itu, akan jauh lebih baik jika sistem perekrutan dikembalikan lagi ke sistem sentralistik”, tegasnya. Namun, menurut Park, sentralisasi juga tak lepas dari kelemahan selama pendekatan tesnya pada aspek non kompetensi (multiple cohois). Jadi, kini perlu dibangun model baru dalam sistem perekrutan pegawai agar – pada akhirnya – berkontribusi positif terhadap upaya pembenahan sistem birokrasi, dalam konteks pemberian pelayanan publik terbaiknya, juga masalah pengurangan korupsi.
Jin-Wook Choi – salah satu narasumber yang membawakan makalah “Anticorruption and Govenance” menyatakan, sesungguhnya – di Korea – aparat penegak hukumnya terkategori masih rendah, dukungan politik untuk antikorupsi juga terketagori masih menengah, tapi penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi sangat kuat. Karena itu, tingkat efektivitasnya juga terlihat. Di Indonesia pun, komitmen antikorupsi cukup kuat. Hal ini – antara lain – ditandai dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah memperlihatkan hasil nyata. Bukan hanya memproses hukum sejumlah pihak yang diduga kuat menyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri (korupsi), atau ikut merancang kebijakan yang disinyalir ada indikasi penyalahgunaan wewenang.
Tapi – menurut Jin-Wook Choi – boleh jadi karena warisan tindakan korupsi di Indonesia ini cukup banyak, maka terkesan hasil penindakannya masih cukup rendah. Kami kira, komitmen kuat penindakan korupsi yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia sudah cukup baik. Jika komitmen ini dipertahankan terus, maka akan terlihat hasil konstruktifnya. Memang, masih perlu waktu panjang dan hal ini terkait dengan jumlah kasus yang memang tidak sedikit. Kini, bagaimana menjaga komitmen pemberantasan korupsi ini. Hal ini tak lepas dari sikap politik penegakan hukum yang harus terlihat jelas bagi para pihak selaku penyelenggara negara.
Ada satu pemikiran lagi yang cukup menarik dari Seminar Sehari kemarin. ”Lembaga birokrasi pun perlu melakukan inovasi”, tutur Ely Susanto, salah satu narasumber dari Universitas Gajah mada. Perlu kita catat, tambahnya, inovasi tidaklah selalu terkait dengan karya baru yang bersifat material. Aturan yang benar-benar baru dan bsia menjadi terobosan juga bisa dinilai sebagai kerangka kebijakan inovatif. Seperti kita ketahui, langkah-langkah inovatif sering dilakukan lembaga-lembaga swasta. Bukan berarti ikut-ikutan, lembaga birokrasi pemeritahan pun perlu mengikuti gaya atau model inovatif yang sering dilakukan lembaga-lembaga swasta. Ketika swasta melakukannya dalam kerangka memenangkan persaingan, tentu motivasi inovasi dalam sistem pemerintahanlain. Yaitu, meningkatkan partisipasi publik terhadap sejumlah kebijakan pemerintah.
“Kiranya, terobosan (inovasi) seperti itu menjadi penting untuk kepentingan Pemerintah saat ini. Terobosan sistem birokrasi seperti itu tidak hanya akan berpotensi meningkatkan kinerja Pemerintah, tapi dampak kontigion lainnya yang bersifat positif. Ketika arahnya terkait dengan sistem penggalian dana, maka kebijakan inovatif itu akan menorong upaya realiasasinya”, papar Aly sembari menambahkan, inovasi kebijakan perlu dirancang untuk berbagai sektor. Arahnya untuk meningkatkan peran Pemerintah atau negara dalam kontek pelayanan publik.
Sementara, Hario Damar yang menyampaikan persoalan IT menegaskan, kerapihan informasi teknologi (IT) akan mampu ”menghadang” potensi-potensi penyalahgunaan wewenang. Tak akan ada cerita Gayus yang leluasa bermain di tengah perpajakan jika seluruh sistem IT rapi. Pendapatan pajak akan terjaga sesuai perolahannya. Melalui IT, dibikin sedemikian rupa hal-hal berpotensi bocor. Untuk itu, reformasi sistem IT di tengah birokrasi sangatlah krusial. Meski ada persoalan (siapa operator di belakangnya), tapi sistem IT bisa mencegah, setidaknya mengurangi potensi loss itu.
Jelang seminar berakhir, salah satu peserta dari BP2TKI menyampaikan harapan, “Sebaiknya Kantor Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bisa mengambil makna (pelajaran) tersendiri dari forum seminar ini yang teruang dalam kebijakan-kebijakan birokrasi. Setidaknya, pelajaran ini merupakan inisiasi yang bisa diadopsi menajdi model sistem birokrasi”, paparnya. (HumasPAN-RB)