Pin It

20130806 kartini

REMBANG - "Kami di sini memohon mengusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali kami menginginkan anak perempuan menjadi saingan bagi anak laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tetapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya. Kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya. Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. (Kartini, Jepara 4 Oktober 1902)"

Untaian kalimat yang mengagungkan perjuangan perempuan ini adalah salah satu tulisan Raden Adjeng Kartini, sang pahlawan emansipasi wanita. Salah satu tulisan Kartini ini terbaca ketika Tim Lipmudyanlik mengunjungi Museum Kartini yang  berada di Desa Kutoharjo, Kabupaten Rembang, pada Selasa (06/08). Museum yang berjarak 300 meter dari pusat Kota Rembang itu dulunya adalah rumah dinas Bupati Rembang sejak tahun 1860. Kartini menempati rumah itu ketika dinikahi Bupati R. M. A. A. Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903.
 
 "Ini saya belum lahir juga sudah ada museumnya, karena jadi tempat tinggal Bupati," ujar Samidjan yang sudah 19 tahun mengabdi sebagai juru kunci Museum Kartini. Ia bersama keluarganya turun temurun diminta menjaga museum ini.

Halaman Museum Kartini sendiri cukup luas karena terdiri tiga bangunan lain di dalam kompleks itu. Ketika melangkah masuk ke halaman Museum Kartini ini, pengunjung disambut angin sejuk yang berhembus dari pepohonan di depannya. Pada beranda museum terdapat pendopo tamu yang cukup luas yang menampung puluhan kursi kayu di depannya. Ada juga sebuah meja kayu panjang dan kursi berukiran, yang berhadapan dengan barisan kursi itu. Kursi kayu berukiran itu adalah tempat duduk Bupati. Pendopo itu mirip sebuah ruang rapat.

Museum ini berarsitektur bangunan Jawa kuno dengan atap kayu berpaduan warna cokelat, hijau, dan kuning. Di dalamnya terdapat beberapa ruangan, diantaranya ruang pengabdian R. A. Kartini, ruang koleksi buku, ruang makan Kartini sekeluarga, serta ruang Habis Gelap Terbitlah Terang.  

Di ruang pengabdian terdapat tempat tidur Kartini yang terbuat dari ukiran kayu. Di sampingnya ada tempat merawat bayi dari kayu yang dilapisi marmer dan sebuah meja rias. Di ruangan itu, Kartini merawat putera pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904.

"Empat hari setelah melahirkan puteranya 17 September 1904, Kartini meninggal usia 25 tahun," sambung Samidjan.

Sementara itu di ruang koleksi buku, terdapat buku-buku yang disimpan Kartini sejak sebelum menikah dan buku yang menuliskan kisahnya. Terdapat juga buku cetakan asli kumpulan surat-surat Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang", yang dikumpulkan Jacques Henrij Abendanon atau sering dikenal dengan J.H. Abendanon. Pria kelahiran Suriname itu adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905. Ia mengumpulkan surat-surat Kartini pada sejumlah temannya di Eropa dan diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Kini buku dengan sampul berwarna putih buram itu diletakkan dalam sebuah kotak kaca bening.

Di sebelah ruang itu terdapat ruang Habis Gelap Terbitlah Terang. Ruang itu cukup gelap. Di sisi kanan dan kirinya terdapat  untaian puisi Kartini yang ditulis di atas cetakan sejenis keramik berwarna hitam dengan tinta putih.

Setiap ruangan dalam museum ini nampaknya memiliki kisah tersendiri tentang kehidupan Kartini. Hampir di setiap sisi ruangan terdapat foto Kartini bersama keluarga dan teman-teman terdekatnya. Kecantikan perempuan asal Jepara ini juga tergambar dengan baik dari foto dan lukisan di museum ini. Kecerdasan pun tersirat di wajahnya.

Ada juga lukisan tiga angsa karya Kartini. Tiga angsa menggambarkan keakraban Kartini dengan dua saudaranya yaitu Kardinah dan Roekmini. Walaupun dilahirkan dari rahim yang berbeda tiga bersaudara ini memiliki idealisme yang sama untuk memperjuangkan emansipasi perempuan. Di ruang makan keluarga, terdapat koleksi perlengkapan makan keluarga Kartini dan lesung untuk menumbuk padi miliknya.

Di antara beberapa ruangan itu terdapat satu ruangan yang tidak boleh dimasuki pengunjung yaitu ruang Penyimpanan Koleksi. Hanya pintu ruangan itu yang ditutup rapat. "Memang tidak sembarang orang bisa masuk di situ. Hanya Bupati dulu dan saya. Sejak dulu itu adalah ruang bupati untuk semedi," cerita Samidjan. Ia tidak ingin bertutur banyak mengenai ruangan rahasia itu.

Ruangan terakhir yang sempat dilihat Tim Lipmudyanlik adalah ruang yang berisi foto anak Kartini, Soesalit, semasa ditinggal sang pahlawan tersebut. Tulisan- tulisan Kartini sebelum kelahiran puteranya juga ditempelkan di samping foto putera semata wayangnya itu.

"Bila Tuhan mengizinkan akan datanglah seorang utusan. Tuhan akan memperindah lagi hidup kami yang sudah indah ini, akan memperteguh, lebih mempererat tali silahturahmi yang sekarang sudah mengikat kami berdua. Kartini, 6 Maret, 1904". Itu salah satu tulisan Kartini, beberapa bulan sebelum menyambut kelahiran puteranya. Sayangnya, belum juga menikmati sepenuhnya merawat sang buah hati, Kartini sudah menghembuskan napas terakhirnya.

"Meski meninggal usia muda tapi Kartini sudah memajukan kehidupan perempuan. Semua perempuan Indonesia harus bersyukur, karena Kartini, perempuan Indonesia juga bisa terus maju dan berkembang. Kita harus kenang terus jasanya," tutup Samidjan mengakhiri sekilas ceritanya tentang Kartini. (Tim Lipmudyanlik)