JAKARTA – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan dan anak di Kota Denpasar, Bali, meningkat dari 61 kasus pada 2019, menjadi 86 kasus pada 2020. Tak hanya KDRT, kasus kekerasan seksual anak di Denpasar pada 2020 terjadi 36 kasus, meningkat dari 16 kasus pada tahun sebelumnya. Untuk melindungi anak-anak Pulau Dewata, Pemerintah Kota Denpasar ciptakan inovasi Pelayanan Pengaduan Kekerasan dan Anak atau Nayaka Prana.
Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara mengatakan Nayaka Prana merupakan program inovasi dari Pemerintah Kota Denpasar sebagai wujud Sewaka Dharma dalam penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
Inovasi ini terintegrasi dengan Pengaduan Masyarakat secara online di Pelayanan Rakyat Online (PRO) Denpasar serta Call Centre Pusdalops 112 atau 223333. Pelayanan masyarakat secara online juga dapat diakses melalui bit.ly/P2TP2Adps. “Selain itu layanan inovasi ini juga didukung sarana prasarana mobil perlindungan (molin) dan motor perlindungan (torlin),” jelas Jaya Negara saat mempresentasikan program yang masuk dalam Top 45 Inovasi Pelayanan Publik 2021 ini.
Nayaka Prana memiliki tiga tujuan utama. Pertama adalah menurunkan angka serta mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tujuan kedua yakni meningkatkan kecepatan serta kemudahan akses pelaporan kekerasan pada perempuan dan anak. Sedangkan tujuan terakhir adalah memberikan pelayanan yang maksimal kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak tanpa dipungut biaya atau gratis.
Ia menjelaskan kendala yang terjadi di masyarakat sebelum adanya inovasi Nayaka Prana yaitu kurangnya informasi mengenai ketersediaan layanan perlindungan perempuan dan anak serta kurangnya informasi mengenai hak-hak yang dimiliki. Kendala lainnya adalah sulitnya akses mencapai layanan dan juga biaya pendampingan dan konsultasi hukum yang sangat mahal.
Alur inovasi ini dimulai dari pencegahan kasus, yaitu dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta langkah yang harus dilakukan sebagai upaya pencegahan.
Sementara untuk pelaporan kasus dalam program ini, bisa dilakukan secara offline dan online, serta dengan jemput bola yang berkolaborasi dengan beberapa stakeholder melalui layanan rujukan. setelah laporan masuk akan dilaksanakan pendampingan kasus oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sampai dengan kasus menemukan kesepakatan dan di follow up sampai dengan tiga bulan ke depan.
Jaya Negara memaparkan beberapa dampak dari adanya inovasi ini, salah satunya adalah tersedianya data pelaporan kekerasan secara terpilah sehingga memudahkan identifikasi masalah dan target sasaran atau output yang ingin dicapai. Dampak lainnya adalah peningkatan jumlah pelaporan kasus dan respons cepat penanganan kasus. “Respons ini mulai dari pelaporan hingga pendampingan kasus korban secara tuntas,” jelasnya. (kar/HUMAS MENPANRB)