JAKARTA – Masalah politisasi PNS tampaknya menjadi isu yang menggelisahkan mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhamadiyah Malang (UMM). Hal itu merupakan salah satu isu yang mereka lontarkan ketika melakukan melakukan study excursie bidang reformasi birokrasi ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Selasa (30/04).
Kedatangan mahasiswa tersebut disambut baik oleh Asdep Perumusan Kebijakan Program Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Teguh Widjinarko. “Saya sangat senang atas kehadiran teman-teman mahasiswa UMM yang ingin mengetahui sejauh mana reformasi birokrasi di pemerintahan saat ini,” ujarnya.
Sebanyak 43 mahasiswa yang hadir terlihat sangat antusias, seiring wacana yang sedang berkembang tentang reformasi birokrasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun dengan kritisnya, Febri, mahasiswa semester VI ini menanyakan tentang indikator netralisasi seorang PNS, yang sering terseret dalam dunia politik. ”Contohnya di daerah, ada yang menggunakan PNS sebagai alat pendongkrak dalam pemungutan suara untuk memenangkan pilkada yang notabene adalah incumbent,” tuturnya.
Sembari tersenyum, Teguh menjawab pertanyaan kritis dari mahasiswa yang dikenal dengan kampus putihnya tersebut. “PNS sudah wajib hukumnya untuk netral,” ucapnya. Dijelaskan, proses demokratisasi dalam sistem pemerintahan daerah dengan munculnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menetapkan Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah secara langsung.
Dampaknya, Teguh menambahkan, netralitas PNS menjadi bulan-bulanan para politisi yang akan bertarung dalam Pilkada. “Hal itu makin parah apabila yang akan bertarung dalam Pilkada adalah incumbent,” tandasnya.
Dijelaskan, dalam sejarah perjalanan politik bangsa ini, PNS memang selalu menjadi lahan subur bagi para politisi untuk meraih dukungan suara. Di zaman pemerintahan Orde Baru, PNS dilarang mendukung partai politik, tetapi mereka wajib memberikan suaranya ke Golkar melalui KORPRI.
Setelah Orde Baru tumbang lewat gerakan reformasi pada tahun 1998, pada tahun 1999 melalui UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, ditegaskan dalam pasal 3 ayat (3), untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. (Cry/HUMASMENPAN)