Pin It
 
201308004 11
CIKAMPEK- Bagi Alek (45), pedagang asongan di Pintu Tol Cikopo, hari-hari di bulan puasa merupakan masa yang cukup melelahkan. Betapa tidak, karena siang hari  hanya sedikit dagangannya yang laku sebab kebanyakan pengendara pada berpuasa. Tahu Sumedang dijajakan mulai dari pukul 8 pagi hingga pukul 12 malam belum tentu habis terjual. Satu bungkus dijualnya Rp2.000.
 
Alek mengungkapkan, setiap hari dia membawa 250 bungkus tahu. Jika daganganya laku semua, ia bisa mengantongi Rp500.000,- dikurangi modal 230 ribu dan uang makan 150 ribu. Jadi masih tersisa 120 ribu untuk dibawa pulang kerumah. Namun tak jarang dagangannya tidak habis terjual. “Bahkan sampai tidak balik modal juga pernah,” ujarnya sambil mengusap keringat di dahinya.
“Enak jaman Pak Harto”, ia membuka pembicaraannya dengan Tim Lipmud Yanlik Kementerian PANRB 2013. “Sebelum tahun 1997 saya bisa menghabiskan dua rentengan tahu, keuntungan sampai dua-tiga kali lipat dari sekarang,” ujarnya.
Dia menambahkan, waktu itu makan juga masih murah. Petugas masih membiarkan pedagang masuk tol kalau macet. “Sekarang tidak bisa lagi. Kalau ketahuan masuk tol kita digebukin petugas, dagangan dan uang kita dirampas. Kita kan rakyat kecil perlu makan, dari mana lagi kalau tidak dagang seperti ini” tutur Alek.
Seorang petugas Jasa Marga yang enggan disebutkan identitasnya mengatakan, sebenarnya aturan tidak boleh berdagang di jalan tol diberlakukan sudah sejak awal. Dulu memang agak longgar. Namun karena lama kelamaan meresahkan dan mengganggu kenyamanan pengendara, akhirnya petugas menegakkan aturan dengan tegas. “Soal hukuman diberikan tidak seseram yang diceritakan pedagang tadi. Yang jelas penegakan aturan itu agar mereka (pedagang) menjadi jera. Sekarang sudah tidak ada lagi para pedagang memasuki tol saat antrian panjang atau macet,” jelasnya.
Fenomena “enak jaman Pak Harto”
Di tempat terpisah, konsultan komunikasi dan pengamat sosial Agus Bandono mengatakan, adanya ungkapan “enak Jaman Pak Harto”, merupakan fenomena dari sebagian masyarakat yang hanya melihat dengan kesadaran inderawi, tidak melihat permasalahan secara utuh. Padahal birokrasi yang dibangun sekarang ini jauh lebih baik di tengah arus demokratisasi dan keterbukaan, yang tidak pernah ada sebelum era reformasi.
Menurut dia, sebagian masyarakat kita masih berorientasi ke belakang, bukan ke depan. “Tidak mungkin kita kembali, itu namanya kemunduran. Kalau pun ada kurangnya dengan keadaan saat ini, itu yang perlu disempurnakan”, Agus meyakinkan.
Alumnus Magister Filsafat Universitas Indonesia ini mengajak masyarakat untuk membangun kesadaran kritis agar mampu berfikir dan bertindak emansipatoris, yaitu mampu membebaskan diri dari belenggu-belenggu bahasa, pemikiran, politis dan hegemoni budaya.

Dia menilai kegiatan liputan mudik yang dilakukan Kementerian PANRB ini sangat positif. “Misi Kementerian PANRB dalam kegiatan Liputan Mudik Layanan Mudik merupakan bagian dari mendorong kesadaran kritis masyarakat terhadap peran birokrasi dalam melayani masyarakat”, imbuhnya. (TIM LIPMUDYAMMMLIK)