LUWU UTARA – Upaya pemerintah untuk menuntaskan program kartu penduduk elektronik (e-KTP) tampaknya tak semulus langkah penyusunan kebijakan di tingkat pusat. Pernik-pernik masalah di lapangan yang terjadi di daerah harus dihadapi dengan terobosan-terobosan tertentu.
Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan misalnya. Untuk menuntaskan perekaman data bagi sekitar 77 ribu penduduk di kabupaten ini, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Luwu Utara menerapkan sistem jemput bola untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Lankah ini diterapkan di seluruh wilayah, yang diawali dengan sosialisasi di berbagai media sosial yang ada. “Kami mensosialisasikan dengan mengumumkan informasi ini antara lain melalui masjid-masjid, dalam acara-acara adat, dan lain-lain. Ada juga yang melalui Televisi kabel, khususnya bagi kawasan yang sudah tersambung dengan jaringan ini,” ujar Kepala Bidang Pelayanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Luwu Utara, Saleh, Rabu (12/06).
Diungkapkan, seperti di daerah lain, perekaman data untuk e-KTP sudah dilakukan sejak tahun 2012. Sayangnya, hingga saat ini belum semua e-KTP selesai dicetak dan sampai ke tangan penduduk. Kenyataan ini menjadi salah satu handicap yang membuat penduduk bertanya-tanya, kenapa sudah lama sekali kok belum jadi juga. Hal ini sedikit banyak menjadikan masyarakat juga kurang peduli dengan upaya perekaman data penduduk yang kini demakin didekatkan kepada masyarakat, yakni di kantor-kantor Desa.
Saleh mengakui, meski dalam dua bulan pihaknya sudah berhasil merekam sekitar 10 ribu penduduk, namun masih diperlukan perjuangan yang berat untuk merekam data penduduk lain. “Ada beberapa wilayah yang sangat terpencil yang sangat sulit dijangkau, seperti Kecamatan Seko, Rampi dan lain-lain. Untuk menjangkau daerah itu, tak bisa dengan kendaraan roda empat. Kami harus naik ojek motor, dengan biaya yang sangat mahal. Namun kami tidak menyerah,” ujar Saleh menambahkan.
Harapannya, dalam sisa waktu selama enam bulan ini, pihaknya dapat merampungkan perekaman sekitar 60 ribu penduduk. “Kami mendatangi Desa-desa terpencil itu tanpa mengenal hari libur. Kami menginap di Desa-Desa tersebut, dan membawa alat perekam data kependudukan, meskipun harus naik ojek,” imbuhnya.
Bahkan, Saleh mengungkapkan, meski belum dianggarkan namun pihaknya tetap jalan meski harus membiayai itu dari kantong pribadi. “Dengan cara ini kami optimis
bisa merampungkan perekaman e- KTP yang saat ini masih tersisa,” ujarnya.
Saleh juga mengaku bahwa pernah mengalami kejadian yang di luar dugaan. Di sebuah Desa yang menurut data masih ada sekitar 400 penduduk yang data kependudukannya terekam, saat dilakukan pelayanan kelokasi hanya berhasil dilakukan perekaman terhadap empat orang. Padahal, sebelumnya sudah dilakukan sosialisasi melalui berbagai media social yang ada.
Belum lagi perekaman yang di lakukan di dua desa bersebelahan, yang ternyata tengah berseteru. “Akibat adanya tawuran antar desa, kamera sampai pecah terkena dampak perang antar kampung tersebut. Buru-buru kami bawa ke kantor Desa dan kami simpan di ruangan yang tidak ada kacanya,” tambah Saleh lagi.
Di banyak Desa, petugas perekaman juga harus bersabar menanti selesainya warga masyarakat yang sehari-harinya berkebun atau bercocok tanam. Siang mereka stand by di kantor Desa, sementara masyarakat datang pada sore dan malam hari. “Jadi kami tidak kenal hari libur dan jam kerja,” tambahnya. (ags/HUMAS MENPANRB)