JAKARTA – Sejumlah Kementerian/Lembaga melaporkan hasil studi banding di Canberra-Australia yang telah dilaksanakan pada tahun 2012 di depan Wakil menteri PANRB Eko Prasojo. Studi banding itu terbagi menjadi dua kelompok, yakni bulan Februari, dan kelompok dua pada bulan Maret. Mereka melakukan perbandingan sistem pemerintahan antara Indonesia dan Australia.
Pada kesempatan itu, Wakil Menteri PANRB mengungkapkan, Indonesia dan Australia memiliki perbedaan geografi, kebudayaan, iklim, populasi, dan sistem pemerintahan. Selain itu dalam urusan pelayanan, dapat dilihat secara langsung dari beberapa institusi. “Australia menangani prosedur dalam perijinan secara lebih fokus, karena ditangani langsung oleh badan independen. Pemerintah Australia memberikan dukungan berupa pembinaan dan bantuan finansial. “Di Indonesia, meskipun pemerintah telah mendelegasikan pemrosesan ke pemda, namun belum dapat dilakukan secara optimal karena belum memadainya SDM, serta pembinaan dan sosialisasi masih sangat minim,” ujarnya di Jakarta (Senin (26/08).
Proses perijinan di Australia, lanjut Wamen, dapat dilaksanakan dengan mudah karena masyarakat Australia sangat mudah mengakses informasi. Semua masyarakat Australia sampai di pelosok pun dapat melakukan komunikasi via internet maupun smartphone. Sedangkan di Indonesia, masyarakat Indonesia belum dapat akses informasi secara baik, karena mungkin informasi itu sendiri belum tersedia secara lengkap di internet. Proses pembuatan SIUP dan TDP misalnya, belum dilakukan secara online. “Kalaupun sudah online, tidak semua masyarakat dapat melakukannya karena masih gaptek dan juga di daerah pelosok belum tentu ada internet,” tambahnya.
Dikatakan, one stop service di Australia dan di Indonesia pada prinsipnya sama. Hanya di Indonesia belum seluruh daerah memiliki PTSP. Proses penerbitan kebijakan di Indonesia pada prinsipnya juga sama dengan Australia. Di Indonesia sebelum menerbitkan UU maupun PP harus melakukan analisis akademi seperti di Australia yang melakukan analisis risk management. “Dukungan Pemda merupakan kunci utama,” ujar Eko Prasojo.
Sejumlah peserta K/L tersebut menerima arahan rekomendasi pada lingkup pekerjaan, berupa perubahan peraturan, peningkatan kualitas SDM, penyempurnaan sistem IT, penanganan konsultasi, dan komplain. Tujuannya untuk mempersingkat waktu dan penyederhanaan prosedur untuk memberikan pelayanan publik yang prima.
“Komitmen pimpinan terhadap implementasi reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Lembaga, dan pelayanan kepada masyarakat perlu ditingkatkan mengingat masyarakat belum cukup merasakan dampak dari reformasi birokrasi,” imbuh Eko Prasojo mengakhiri rapat tersebut.
Koordinator ICDBR Wahyu Sutiyono dan John Halligan dari University of Canberra mengikuti rapat pertanggungjawaban hasil kunjungan studi banding yang dipimpin oleh Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi Eko Prasojo. Acara tersebut juga dihadiri oleh peserta studi banding, antara lain dari Kementerian PANRB, Kementerian Pekerjaan Umum, Bappenas, Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Kesehatan, Direktorat Pengembangan Ekonomi Daerah Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kepala Unit PTSP Bidang Penanaman Modal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Staf Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan BPKP.
Peserta menyampaikan laporan implementasi reformasi birokrasi yang meliputi, manajemen perubahan, penataan peraturan perundang-undangan, penataan dan penguatan organisasi, penataan tatalaksana, penataan sistem manajemen SDM Aparatur, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Selain itu diperlukan monitoring, evaluasi, dan pelaporan yang menjamin implementasi reformasi birokrasi telah dilakukan sesuai dengan ketentuan dan target yang ditetapkan dalam road map masing-masing instansi. (bby/HUMAS MENPANRB)