JAKARTA – Wakil Menteri PANRB Eko Prasojo mengatakan, pimpinan birokrasi harus siap menerima kritik yang menyatakan bahwa proses reformasi birokrasi belum banyak beranjak. Sampai sekarang, proses perubahan ini baru sampai pada tahap sosialisasi, belum pada internalisasi nilai.
Hal itu dikatakannya dalam peluncuran dua buah buku, Pemimpin dan Reformasi Birokrasi, dan Reformasi Birokrasi dalam Praktik, di Jakarta, Selasa (10/09). “Perubahan ini baru terjadi dalam kesiapan untuk menyerahkan dokumen. Kita harus pindahkan menjadi bagaimana mentransformasikan budaya dan mindset birokrasi,” ujarnya.
Diakui, reformasi birokrasi merupakan pekerjaan berat, bahkan bisa dikatakan sebagai proyek yang ambisius. Kendari demikian, tahapan-tahapan reformasi birokrasi harus dilakukan. Sampai menjelang berakhirnya pemerintahan SBY, setidaknya ada beberapa perubahan sebagai leveradge yang harus dilakukan.
Menurut Eko Prasojo, beberapa perubahan yang memiliki leveraedge terhadap perubahan itu antara lain sistem rekrutmen CPNS, TNI dan POLRI harus benar-benar diperbaiki. Cara promosi jabatan juga harus benar, terbuka, obyektif, berbasis kompetensi dan berbasisi kinerja. “Setiap pegawai yang memenuhi persyaratan harus diberi kesempatan yang sama untuk berkompetisi secara fair agar bisa mendudukui jabatan tertentu,” tambahnya.
Perubahan lain adalah, bagaimana menggabungkan antara sistem kompensasi dengan kinerja secara bersama-sama, agar orang yang bekerja pada birokrasi dapat terukur kinerjanya, dan memiliki dampak pada penghasilan yang harus diterima. “Keempat hal ini harus bisa kita terapkan hingga tahun 2014 mendatang,” tandas Wamen.
Dalam kesempatan itu, Wamen juga mengatakan bahwa peran dan penguatan kepemimpinan dalam reformasi birokrasi sangat dominan. Sebab, reformasi birokrasi merupakan proses politik, bukan proses birokratik. Tidak ada perubahan di dalam birokrasi tanpa ada proses politik, yakni komitmen pemimpinnya. Ini sudah terbukti di mana-mana, di negara lain maupun di banyak pemerintah daerah. Setiap ada komitmen politik pasti akan ada perubahan dalam birokrasi.
Birokrasi tak akan mungkin melakukan perubahan terhadap dirinya sendiri tanpa ada dukungan komitmen politik dari pemimpinnya, baik itu Menteri, Sekjen, Gubernur, Bupati/Walikota. Sebab birokrasi tidak memiliki wewenang yang bersifat politik. Tapi sekali mendapatkan wewenang itu, maka birokrasi di Indonesia secara patron clien relationship akan melakukan perubahan-perubahan itu. “Kalau pemimpinnya bagus, biasanya birokrasi akan ikut bagus. Peran pemimpin sangat besar dalam perubahan birokrasi,” tambah Eko.
Kendati demikian, Wamen mengingatkan bahwa perubahan birokrasi tidak boleh terlalu tinggi. Trajectory-nya maksimal 45 derajat. Kalau lebih dari itu, justeru akan menimpa diri sendiri, yang kekuatannya melebihi kekuatan kita untuk menerimanya. Hal lain, resistensi di setiap perubahan merupakan sesuatu yang sangat alami. Karena itu, pemimpin harus terbiasa dengan resistensi. “Melakukan perubahan pun dikritik, apalagi tidak melakukan perubahan. Yang paling penting adalah kepentingan nasional menjadi titik tolak dalam melakukan perubahan,” ucap Guru Besar UI ini.
Dalam hal ini, seorang pemimpin harus mampu memberikan pemahaman bahwa reformasi tidak akan mengenakkan bagi sebagian orang, dan cenderung akan menimbulkan resistensi, sehingga harus siap melakukan melakukan manajemen perubahan.
Para pemimpin juga harus memiliki karakteristik yang harus ditanamkan dan diperjuangkan. Seorang pemimpin harus visioner dan berpikir melebihi kemampuan orang (thinking ahead), berpikir terus menerus (thinking again) dan berpikir lintas batas. Kalau kementerian A bisa kenapa kita tak bisa. Kalau Korea dan Singapura bisa kenapa Indonesia tidak. Lebih dari itu semua, harus ditanamkan benar-benar budaya yang tidak korup. (ags/HUMAS MENPANRB)